Secercah kabar menggembirakan datang dari kebun benih induk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Lampung. Para peneliti di sana berhasil mengembangkan calon varietas lada baru yang memiliki malai sepanjang 36 sentimeter.

Dilihat dari penampakannya, lada yang dikembangkan dari varietas Natar 1 ini memang sangat menjanjikan. Panjang malainya jauh di atas lada pada umumnya yang hanya memiliki malai antara 8-14 sentimeter.

Dengan malai hingga 36 sentimeter, calon varietas lada baru yang belum diberi nama ini diyakini dapat mendongkrak produksi lada hingga tiga kali lipat. Tentu ini merupakan angin segar di tengah semakin turunnya tingkat produksi lada nasional.

”Kami sedang mengembangkan varietas lada yang produktivitasnya lebih tinggi. Menurut rencana, varietas ini akan dilepas pada tahun 2019,” kata peneliti lada dari BPTP Provinsi Lampung, Jekvy Hendra, Rabu (5/4), di Bandar Lampung.

Calon varietas baru itu merupakan hasil keturunan pertama dari persilangan varietas Natar 1. Dari indukan-indukan pilihan diharapkan terjadi perubahan genetik yang diwariskan. Sejauh ini, hasilnya cukup  menjanjikan karena dia bisa tumbuh dengan sulur lebih banyak dan malai yang panjang.

Staf Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung menunjukkan lada malai panjang yang akan dikembangkan menjadi calon bibit unggul di BPTP Lampung, Rabu (5/4).

Meski memiliki malai yang panjang, para peneliti masih menemukan sedikit kekurangan pada calon varietas baru ini karena belum semua bagian malai terisi buah lada. Hal ini masih menjadi tantangan yang harus terus-menerus diteliti dan dibenahi.

Selanjutnya, peneliti akan mengembangkan hingga keturunan ketiga untuk memastikan sifat tanaman tidak akan berubah. ”Minimal butuh waktu uji coba tiga tahun sebelum calon varietas baru ini diluncurkan,” tambah Firdausil Akhyar Ben, peneliti BPTP Lampung lainnya.

Produksi rendah 

Saat ini, rata-rata produksi lada di Lampung hanya mencapai 400-600 kilogram per hektar. Padahal, produktivitas lada semestinya bisa mencapai 2 ton per hektar.

Rendahnya produksi lada di Lampung disebabkan oleh berbagai faktor. Selain menurunnya tingkat kesuburan tanah dan pola budidaya yang buruk, faktor lain yang menyebabkan produksi lada turun adalah serangan penyakit pada tanaman lada.

Sebagian besar tanaman lada di Lampung terserang penyakit busuk pangkal batang. Penyakit yang disebabkan oleh patogen ini menyebabkan tanaman layu dan mati mendadak. Serangan patogen ini banyak terjadi pada musim hujan.

Rendahnya produktivitas lada memang menjadi persoalan serius. Catatan International Pepper Community tentang produsen lada dunia 2015 menunjukkan, dengan luas areal lada mencapai 116.000 hektar, Indonesia hanya bisa memproduksi 77.000 ton lada. Sebaliknya, Vietnam yang hanya memiliki lahan 57.000 hektar bisa memproduksi 130.000 ton lada.

[kompas-image-360 src=”https://jalurrempah.kompas.id/wp-content/uploads/sites/138/2017/07/Kebun-BPTP-Lampung-ok-logo.jpg” caption=”Kebun percobaan milik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung di Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung” credit=”KOMPAS/Luhur Arsiyanto Putra” /]

Produksi lada di Vietnam bisa mencapai 4 ton per hektar. Bahkan, Kamboja sekarang juga bisa mengembangkan varietas lada dengan produksi lebih dari 4 ton per hektar. Sementara itu,  produksi lada Indonesia rata-rata hanya mencapai 700 kilogram per hektar.

Selain mengembangkan varietas lada jenis baru, BPTP Lampung juga melakukan pemuliaan bibit lada dengan cara membuat kebun pembibitan. Bibit lada yang dikembangkan diperoleh dari tanaman induk yang khusus untuk pembenihan. Dengan begitu, sifat induk yang tahan terhadap hama penyakit dapat dipertahankan.

BPTP Lampung juga membimbing petani lada agar mampu menerapkan budidaya secara tepat. Petani diimbau menerapkan pola pemupukan secara tepat. Selain itu, mereka juga diminta membangun irigasi sederhana untuk menjaga ketersediaan air untuk tanaman lada saat musim kemarau melanda.

Semakin tertinggal

Mantan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian Pasril Wahid mengungkapkan, tahun 1986-1987 peneliti Vietnam, Prof Pam Van Dong, bersama dua rekannya sengaja datang ke Indonesia untuk belajar bercocok tanam lada. Dari sisi kualitas tanah, lahan di Vietnam tidak sebagus Indonesia, tetapi Vietnam serius dalam membudidayakan lada.

”Dua kunci keberhasilan menanam lada adalah kebun diberi pagar dan dibuatkan selokan. Setelah belajar dari kita, Vietnam langsung melakukan dua hal itu, sementara para petani di negara kita tidak melakukannya,” ucap Pasril.

Meski tergolong pemula dalam budidaya lada, hanya dalam tempo beberapa tahun Vietnam berkembang menjadi negara produsen lada. Tahun 2015, Vietnam tercatat sebagai negara produsen lada nomor satu dunia dengan kapasitas produksi 130.000 ton, jauh lebih tinggi dari produksi lada Indonesia yang hanya mencapai 77.000 ton.

Tahun demi tahun, Indonesia semakin tertinggal dalam hal produksi lada. Padahal, tahun 1935-1940 ekspor lada Indonesia mampu memasok 80 persen kebutuhan lada dunia di mana sebagian besar dihasilkan dari Lampung dan Bangka.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/2ffd95b5-4c73-446f-8548-6e40b3a06e85/kvms_13376_20170718_jalur_rempah_footage_malai_panjang.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’danial.ak’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/07/13376_p.png?v=21′ /]

Minimnya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap komunitas petani ataupun peneliti lada berpengaruh besar terhadap menyusutnya produksi lada nasional. Apalagi, fokus pertanian nasional yang ditetapkan pemerintah masih berkutat pada peningkatan produksi ”pajale” (padi, jagung, dan kedelai).

Selain perhatian yang minim, menurut Pasril ”gaya latah”, petani Indonesia yang cenderung suka meniru dan ikut-ikutan tren membuat produksi lada tak pernah optimal. ”Begitu tahu harga sawit bagus, orang-orang kita langsung beralih menanam kelapa sawit, begitu harga karet bagus langsung pindah menanam karet, dan seterusnya,” ujarnya.

Persoalan terbesar yang dialami para petani lada saat ini adalah serangan penyakit busuk pangkal batang (BPB). Karena penyakit inilah, banyak petani di Lampung yang akhirnya beralih menanam karet dan sawit beberapa tahun terakhir.

Untuk mengatasi persoalan ini, Balittro Kementerian Pertanian melakukan perakitan varietas lada yang tahan BPB, penggerek batang, dan kekeringan. ”Upaya peningkatan keberlanjutan Indonesia sebagai produsen rempah dunia perlu didukung dengan inovasi teknologi, antara lain penyediaan varietas unggul,” kata peneliti Balittro Kementerian Pertanian, Nurliani Bermawie.

Selain kendala penyakit, faktor cuaca yang tidak menentu juga menjadi kendala peningkatan produktivitas lada. Akibat hujan yang berkepanjangan, petani di Lampung pertengahan tahun ini banyak yang gagal panen.

Tahun 2016, jumlah petani lada di Indonesia tercatat 273.556 orang. Jumlah ini turun 17 persen dibandingkan 5 tahun lalu di mana jumlah petani lada masih sebanyak 320.610 orang. Kehadiran ”Si Malai Panjang” diharapkan menumbuhkan harapan baru bagi para petani lada.

(VINA OKTAVIA/ALOYSIUS B KURNIAWAN/MUKHAMAD KURNIAWAN)