Tumbuh di antara punggung  Gunung Gamalama di Ternate, Maluku Utara, pohon-pohon cengkeh tua bertahan hidup selama beberapa abad. Selamat dari upaya pemusnahan Belanda, pohon-pohon itu kini menjadi sumber benih  bagi para  penangkar setempat, sekaligus menjadi pemikat utama wisata rempah.

Lengan dua orang dewasa tak cukup memeluknya. Lingkar batangnya sekitar 320 sentimeter. Tingginya melebihi rata-rata pepohonan lain di sekelilingnya. Pohon itu sudah tua, tetapi masih gagah berdiri, ditopang akar dan batang yang kokoh. Daun-daunnya rimbun menaungi batang dan akar pohon. Inilah ”harta” yang tersisa di kaki Gamalama.

”Ini baru cengkeh Afo generasi kedua, cengkeh asli Ternate,” kata Ketua Kelompok Tani Ake Guraci di Kelurahan Marikrubu, Ternate, Maluku Utara, Hamadal, seraya menunjuk pohon itu.

Butuh waktu hampir satu jam berjalan kaki meniti punggung Gunung Gamalama dari pusat Marikrubu untuk bisa sampai di lokasi pohon di Hange. Perjalanan menyusuri jalan setapak dengan sudut elevasi sekitar 30 derajat yang biasa dilalui petani pemilik kebun di punggung Gamalama.

Hamadal begitu yakin cengkeh yang ditunjukkannya adalah Afo generasi kedua karena kakek buyutnya yang menanamnya. Jika benar, berarti cengkeh itu telah berusia setidaknya 200 tahun. Usianya lebih muda dari cengkeh Afo generasi pertama yang sudah mati tahun 2007 saat usianya sekitar 400 tahun.

”Cerita yang kami peroleh turun-temurun, cengkeh tua itu dulu selamat dari upaya pemusnahan pohon cengkeh dan pelarangan tanam cengkeh oleh Belanda sejak abad ke-17. Kakek buyut saya bersama warga lain sengaja tidak memberitahukan lokasi pohon itu ke Belanda,” kenang Hamadal yang kini berusia 65 tahun.

Dalam Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 karya Adnan Amal, pada tahun 1652 Belanda memang menginstruksikan eradikasi pohon cengkeh di wilayah yang kini masuk Provinsi Maluku Utara itu. Pemusnahan yang dikenal dengan nama hongi tochten itu untuk mendongkrak harga cengkeh yang merosot akibat melimpahnya cengkeh di pasar internasional.

Akan tetapi, lebatnya pepohonan di Gamalama, apalagi lokasinya di ketinggian, tidak menutup kemungkinan ada pohon cengkeh yang luput dari upaya eradikasi Belanda. Terlebih warga setempat sengaja menyembunyikan keberadaannya.

Tim ekspedisi jejak rempah harian Kompas saat menuju letak pohon cengkeh jenis Afo kedua yang tumbuh di kaki Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara, Rabu (3/5). Pohon-pohon cengkeh tua di kawasan ini sebagian diduga berumur lebih dari 2,5 abad.

Hingga kini, tidak banyak yang mengetahui keberadaan cengkeh tua di Hange itu. Cengkeh Afo generasi kedua yang selama ini dikenal, dan telah menjadi rujukan banyak peneliti dan wisatawan, berada di Air Tege-Tege, Marikrubu, Ternate.

Kondisi pohon itu kini sudah sekarat. Tinggal batang dan dahan dengan daun yang hanya tumbuh di sejumlah ranting. Di sekelilingnya dibangun tembok oleh pemerintah yang justru dinilai berkontribusi pada kerusakan. Cengkeh jadi sekarat karena tembok menghambat pertumbuhan akar.

Meski cengkeh itu telah dikenal sebagai generasi kedua Afo, Hamadal meragukannya. ”Lokasi cengkeh itu tempat main saya waktu masih kecil. Pohon yang disebut generasi kedua itu sebenarnya baru saja ditanam saat itu,” kata Hamadal.

Berbeda dengan cengkeh di Air Tege-Tege, dari cengkeh tua di Hange, masih banyak cengkeh yang bisa diraup saat tiba masa panen raya cengkeh, Juni hingga Oktober setiap tahun, meski memang produksinya terus menurun seiring dengan bertambahnya usia pohon.

”Kalau panen, masih bisa dapat sekitar 100 kilogram cengkeh,” ujar Muhtar (50), petani Marikrubu, pemilik pohon yang sering memetik cengkeh di pohon tersebut.

Sementara saat dirinya masih kecil dan panen cengkeh dilakukan orangtuanya, hasil panen cengkeh tua itu bisa mencapai 400 kilogram. Saking lebatnya buah, untuk memetik panen dari satu pohon itu saja harus melibatkan puluhan petani.

[kompas-image-360 src=”https://jalurrempah.kompas.id/wp-content/uploads/sites/138/2017/07/Bibit-cengkeh.jpg” caption=”Pembibitan cengkeh dan pala di Ternate.” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]

Dari cengkeh tua itu pula, Hamadal yang juga bekerja sebagai penangkar bibit cengkeh sering mengambil bunga cengkeh yang sudah tua untuk dijadikan bibit cengkeh Afo. Bibit cengkeh ini banyak dicari petani untuk ditanam di wilayah lain di Maluku Utara. Bahkan, tak jarang, Hamadal menerima pesanan bibit dalam jumlah banyak untuk ditanam di luar Maluku Utara. ”Cengkeh Afo ini lebih banyak hasilnya dan lebih tahan hama dibandingkan varietas cengkeh lain,” ujar Hamadal.

Zanzibar

Bibit cengkeh Afo kini bersaing dengan Zanzibar, bibit yang berasal dari Zanzibar di Tanzania, Afrika. Bibit yang sejatinya juga berasal dari Maluku Utara, sebab cengkeh yang tumbuh subur di Zanzibar itu bibitnya dari Maluku Utara, tahun 1818. Adalah Pierre Poivre, warga Perancis yang bekerja untuk kongsi dagang Belanda (VOC), yang menyelundupkan bibit dari Maluku Utara di tengah ketatnya kontrol VOC ke Zanzibar yang kala itu merupakan salah satu koloni Perancis.

Azmi Dhalimi dalam Monograf Cengkeh menyebutkan, tahun 1932, Pemerintah Hindia Belanda membawa kembali cengkeh Zanzibar ke Indonesia dan ditanam di Jawa, Sumatera, dan Maluku.

Dari pohon-pohon tersebut, bibit Zanzibar kian banyak ditanam di Indonesia, terutama setelah pemerintah mencanangkan swasembada cengkeh tahun 1970. Termasuk di antaranya bibit cengkeh kembali ditanam di tempat asalnya, di Maluku Utara.

Di Makian, salah satu pulau penghasil cengkeh terbesar dan terbaik di Maluku Utara sebelum eradikasi cengkeh dilakukan VOC, cengkeh Zanzibar telah banyak tumbuh di lereng Gunung Kie Besi.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/bbc1cc59-259e-4f89-949a-9cb7d1164528/kvms_13832_20170802ed_cengkeh_tua_di_malut_rev.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Kepulauan Maluku Utara, tanah asal cengkeh dan pala. Dua komoditas rempah ini, mengundang bangsa Eropa ke Nusantara pada abad ke-16. Pasang surut perdagangan menentukan redup kembangnya kedua tanaman ini.’ credit=’KOMPASNEWSPAPER’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/08/13832_p.png?v=17′ /]

Tak ada lagi jejak pohon cengkeh yang tumbuh sebelum masa eradikasi cengkeh. Cengkeh yang dikenal warga dengan sebutan cengkeh Raja karena di era kolonialisme dan sebelumnya seluruh pohon dan hasilnya diserahkan untuk raja.

”Sebelum Kie Besi meletus tahun 1988, sebenarnya masih ada cengkeh Raja yang selamat dari pemusnahan cengkeh oleh Belanda. Lokasinya di hutan, di lereng gunung. Orang-orang tua kami cerita, pohon itu memang sengaja tidak diberitahukan ke Belanda supaya tidak dimusnahkan. Namun, setelah meletus, cengkeh Raja ikut mati,” tutur Rauf Sabaha (81), warga Kecamatan Pulau Makian, Kabupaten Halmahera Selatan.

Dari hasil cengkeh Zanzibar yang kini banyak tumbuh di Makian, petani sejatinya menumpukan hidupnya. Namun, merosotnya produksi cengkeh setelah letusan Kie Besi membuat cengkeh tak lagi menjadi tanaman favorit. Petani lebih memilih tumbuhan kenari atau pala yang hasilnya lebih menjanjikan.

Entah apa yang menyebabkan hasil cengkeh merosot. Sebab, penyuluh pertanian yang diharapkan dapat menjelaskan tak kunjung hadir. Sementara pengetahuan petani sangat terbatas.

Menurut pengajar pertanian di Universitas Khairun, Ternate, Indah Rodianawati, dari sisi produksi, varietas cengkeh Zanzibar ataupun Afo tidaklah berbeda. Yang membedakan, cengkeh Afo lebih tahan terhadap serangan hama daripada Zanzibar.

Ini yang mungkin bisa menjelaskan alasan turunnya produksi Zanzibar di Makian. Namun, di luar itu, bisa jadi produksi cengkeh menurun karena faktor tanah dan cuaca. Cuaca ekstrem, misalnya, berdampak negatif pada proses pembungaan cengkeh. Begitu pula tanah, jika unsur NPK di tanah tidak memadai, hal itu akan berdampak pada terganggunya pertumbuhan bakal bunga.

”Apalagi petani di Maluku Utara biasanya tinggal menanam saja bibit, kemudian dibiarkan. Tidak dikasih pupuk. Jika unsur NPK di tanahnya bagus, cengkeh tumbuh baik. Tetapi kalau terbatas, ya, akan menghambat proses pembungaan cengkeh,” katanya. (ANTONIUS PONCO ANGGORO/MUKHAMAD KURNIAWAN)