Kaki Hamadal (61) bergerak cepat menapaki setiap jengkal tanah menuju kebun cengkehnya yang terletak di lereng Gunung Gamalama, Ternate. Sandal jepit yang dikenakan sebagai alas kaki seolah sudah lekat dengan kondisi tanah dan medan ke arah kebun sehingga mampu menyesuaikan irama langkah Hamadal, lincah dan fleksibel di atas tanah yang licin.

Pagi itu Hamadal mengajak kami untuk melihat secara langsung pohon cengkeh warisan leluhurnya yang sudah berusia lebih kurang 350 tahun. Hamadal yakin betul, pohon cengkeh ini sudah tumbuh semasa kakek buyutnya masih hidup. Hamadal juga yakin, pohon cengkeh yang akan ditunjukkannya tersebut merupakan cengkeh Afo paling tua yang masih berbuah di daratan Ternate. ”Ini sebenarnya pohon cengkeh Afo kedua. Afo kesatu sudah lama mati dan sekarang pohonnya masih ada, tetapi sudah kering semua,” ujar Hamadal untuk meyakinkan kami tentang kebenaran ceritanya.

Hamadal merupakan salah satu sosok petani cengkeh dan pala yang bermukim di Kelurahan Marikrubu yang lokasinya berada di dataran tinggi. Kebanyakan warga di sini mewarisi lahan kebun berikut pohon cengkeh dan pala yang tumbuh di atasnya dari leluhur mereka. Profesi mereka sebagai petani cengkeh dan pala pun diperoleh dari leluhur yang diwariskan secara turun-temurun.

Hamadal menunjukkan letak pohon cengkeh jenis Afo kedua yang tumbuh di kaki Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara, Rabu (3/5). Pohon cengkeh ini merupakan yang tertua di Ternate, berumur sekitar 2,5 abad.

Cengkeh Afo memang identik dengan Ternate karena cengkeh ini diyakini sebagai cengkeh varietas asli Ternate. Sejak kapan nama Afo ada dan siapa yang memberikannya, tidak ada yang tahu persis. Namun, tahun 2010 pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3680/Kpts/SR.120/11/2010 tentang Pelepasan Populasi Cengkeh Afo sebagai Varietas Unggul telah memutuskan nama Afo sebagai sebagai varietas tanaman cengkeh dari Ternate. Petani di Ternate menerima putusan pemerintah ini dengan senang hati.

Meski demikian, Hamadal punya versi sendiri tentang cengkah Afo yang ada di kebunnya sekarang. Menurut dia, pohon cengkeh yang tumbuh di kebunnya merupakan cengkeh Afo kedua yang bibitnya berasal dari pohon cengkeh Afo pertama. Pohon cengkeh Afo pertama yang sudah mati pohonnya tetap dibiarkan berdiri di tempatnya dalam keadaan kering, berada di dalam kawasan perlindungan Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara. Usianya diyakini telah mencapai 525 tahun atau terpaut 175 tahun lebih tua dari pohon cengkeh Afo kedua.

Informasi tentang usia kedua pohon cengkeh ini mengungkapkan jutaan kisah yang menceritakan pesona cengkeh yang telah menggoda para pelayar, pedagang, hingga penjelajah dunia untuk menumpuk kekayaan dari hasil perniagaan cengkeh yang sangat menguntungkan. Kedua pohon ini juga menjadi saksi bisu atas perubahan Maluku menjadi primadona yang kerap dikunjungi para pedagang lintas benua hanya untuk mendapatkan cengkeh. Pohon cengkeh Afo pertama dan kedua ini juga menjadi saksi atas kolonialisasi wilayah Kepulauan Maluku yang mengempas kekuasaan dan kedaulatan para sultan menjadi berkeping-keping.

Jika dihitung mundur dari sekarang hingga 525 tahun ke belakang—sesuai informasi tentang umur pohon cengkeh Afo pertama—pohon cengkeh Afo pertama diperkirakan  tumbuh pada 1492, angka tahun yang berada di pengujung abad ke-15. Sementara pohon cengkeh Afo kedua diperkirakan tumbuh pada 1667 atau pada pertengahan abad ke-17. Dalam kurun waktu tersebut, penjelajahan dunia melalui laut yang dilakoni oleh Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris sudah diorientasikan untuk mendapatkan rempah-rempah langsung dari tanah tempat tumbuhnya, Kepulauan Maluku.

Pelayaran  dengan tujuan untuk mencari pulau rempah-rempah diawali oleh pelaut Portugis, Henry The Navigator, pada abad ke-15. Pelaut-pelaut Portugis pada masa itu, seperti Bartholomeus Diaz dan Vasco da Gama, hanya bisa mencapai Semenanjung Afrika hingga India.

 

Portugis lalu menempatkan raja muda Alfonso d’Albuquerque di India pada 1510 sebagai strategi untuk menjangkau dunia Timur yang semakin dekat, sekaligus mengontrol jalur perdagangan internasional.  Strategi ini berhasil setelah d’Albuquerque berhasil menguasai Goa di pantai barat India, lalu merebut Malaka pada 1511.

Pra-Portugis

Informasi tentang interaksi pedagang asing dengan warga Maluku dalam jual beli rempah sudah terekam jauh sebelum kedatangan orang-orang Portugis. Ternate menjadi bandar utama yang ramai dikunjungi pedagang dari China, India, Melayu, dan Timur Tengah. Mereka menjalankan perniagaan cengkeh baik dengan penguasa maupun warga setempat. M Adnan Amal dalam buku Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 (2006) menyebutkan, para pedagang tersebut pada 1450 sudah eksis melakukan perniagaan dengan membeli cengkeh atau membawa tekstil, beras, perhiasan, dan kebutuhan hidup lain untuk ditukar dengan cengkeh. Kehadiran pedagang-pedagang mancanegara ini merupakan undangan Raja Ternate Kaicil Gapi Baguna yang berkuasa pada 1432-1465.

Sebagaimana ditulis oleh Wilard A Hanna dan Des Alwi dalam buku Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak (1996), Kaicil Gapi Baguna yang bertakhta sebagai raja ke-18 Ternate sengaja mengundang para saudagar tersebut untuk menetap di Ternate agar bisa memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan mereka yang unggul. Rakyat Ternate diarahkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan rahasia-rahasia dagang mereka. Pada masa inilah kehidupan masyarakat di Kepulauan Maluku mengalami perubahan yang ditandai dengan munculnya keterampilan membangun rumah, menggunakan perabot rumah tangga, dan memakai pakaian dari bahan tekstil.

Cengkeh yang sebelumnya masih tumbuh secara liar di Pulau Tidore, Ternate, Moti, Makian, dan Kasiruta mulai dibudidayakan sebagai komoditas ekonomi. Ketertarikan pedagang asing untuk membeli cengkeh secara berkesinambungan dengan harga tinggi membangkitkan kesadaran warga Kepulauan Maluku untuk membudidayakan cengkeh.

Perburuan cengkeh

Nama Maluku sebagai pulau penghasil rempah-rempah baru masuk radar pencarian bangsa Eropa diperkirakan pada abad ke-16 seiring dengan ekspansi Portugis ke Goa dan Malaka. Baik M Adnan (2006) maupun Des Alwi (1996) menyebutkan, pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah atau Boleif—Des Alwi menulis nama raja ke-21 Ternate dengan sebutan Bajang Ullah—muncul orang Eropa pertama di Ternate. Menurut M Adnan, orang Eropa berkebangsaan Portugis ini bernama Lodewijk de Bartomo, tiba pertama kali di Ternate tahun 1506. Posisi De Bartomo ketika itu tidak jelas sehingga tidak diketahui motif dan tujuannya datang ke Ternate. Tidak terdapat bukti adanya kontak resmi yang dilakukan De Bartomo dengan pejabat atau penguasa lokal.

Sementara Des Alwi menuliskan nama orang Eropa pertama yang tiba di Ternate sebagai seorang ”pria dari kota Roma” bernama Ludovico de Verthama pada masa pemerintahan Bajang Ullah, yang memerintah tahun 1500-1522. Kedatangan De Verthama ke Kepulauan Maluku juga tidak jelas kapasitas dan posisinya. Namun, menurut Alwi, dalam catatan perjalanannya, De Verthama menyebutkan bahwa masyarakat di kawasan ini sudah menjual cengkeh dengan harga dua kali lipat harga pala. Warga menjualnya menurut takaran karena mereka sama sekali tidak mengenal timbangan.

Pengamatan De Verthama ini dibenarkan para pengajar sejarah dari Universitas Khairun, Ternate. ”Saat itu, sistem perdagangan yang digunakan adalah barter, yaitu menukar cengkeh dengan barang yang dinilai setimpal,” kata Mustafa Mansyur, salah satu pengajar sejarah.

Catatan perjalanan De Verthama atau De Barthomo inilah yang memotivasi raja muda d’Albuquerque menugaskan d’Abreu dan Fransisco Serrao untuk melakukan sebuah ekspedisi mencari pulau rempah-rempah. Ekspedisi ini mengerahkan 120 personel yang menggunakan tiga kapal. Ekspedisi ini diberangkatkan dari Malaka pada Desember 1511 dan tiba pertama kali di Ambon pada Januari 1512.

Kolonialisasi Maluku

Fransisco Serrao merupakan pelaut Portugis pertama yang menginjakkan kaki di Kepulauan Maluku Utara, tepatnya di Ternate, atas undangan Sultan Ternate Bayanullah pada 1512. Bagi Sultan Ternate, kedatangan Serrao menandakan aliansi baru antara kerajaan lokal dan kekuatan asing yang dianggap mampu mengangkat harkat Ternate sebagai kerajaan terkuat di Maluku. Persekutuan saling menguntungkan ini bermuara pada kesepakatan ekonomi, politik, dan militer di antara kedua belah pihak dalam rangka menjaga eksistensi keduanya di Ternate dan Maluku.

Ada dua momentum yang menandakan pengakuan eksistensi Portugis di Ternate oleh penguasa tertinggi Ternate saat itu. Pertama, pengangkatan Serrao sebagai penasihat pribadi Sultan Bayanullah. Kedua, pemberian hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate oleh Sultan Bayanullah berikut hak untuk mendirikan benteng di Gamlamo sebagai basis pertahanan sekaligus pusat kendali perdagangan Portugis di Maluku.

Menurut sejarawan Universitas Khairun, Mustafa Mansyur, pemberian hak monopoli berikut konsesi politik dan ekonomi yang eksklusif kepada Portugis merupakan keputusan yang didasari pada kekaguman para penguasa Ternate terhadap superioritas Portugis yang memiliki keunggulan teknologi militer. ”Keputusan ini yang mengundang Portugis dan bangsa-bangsa Eropa lain ingin mencengkeram wilayah Maluku dengan cara mengintervensi kekuasaan politik para sultan,” ujarnya. Keputusan ini juga dipandang Mustafa sebagai bom waktu yang menghancurkan kekuasaan para sultan dan juga kedaulatan Ternate atas kesultanannya sendiri dan wilayah taklukannya di seberang laut.

Intervensi terhadap kekuasaan Sultan Ternate menggambarkan keserakahan Eropa untuk menguasai rempah-rempah di Maluku melalui kontrol mereka atas kekuasaan para sultan. Intervensi ini menjadi pintu masuk untuk menguasai sekaligus menjajah Ternate dan Maluku.

Portugis mengintervensi Kesultanan Ternate dengan dasar teori  bahwa siapa pun yang akan mewarisi takhta harus mendapat perlindungan dan pendidikan Portugis. Ini dilakukan agar mereka dapat selamat dari intrik istana, sekaligus menerima dampak pendidikan dan kebudayaan Barat, termasuk bahasa Portugis, dan barangkali juga agama Kristen. Sewaktu naik takhta kelak, mereka diharapkan dapat diatur dan atau minimal tidak bersikap anti terhadap kepemimpinan Portugis.

Sejak tahun 1522 hingga diusir oleh Sultan Baabullah dari Ternate pada 1575, Portugis telah menempatkan 20 gubernur di Ternate. Selama kurun waktu tersebut, tidak sedikit pertikaian yang terjadi antara para gubernur dan sultan ataupun pejabat dan kerabat sultan dalam hal pergantian sultan Ternate. Pertikaian ini terjadi karena para gubernur ini selalu mengintervensi proses suksesi kekuasaan di Ternate, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.

Selain Portugis, bangsa Eropa yang pernah menguasai Kepulauan Maluku adalah Spanyol, Belanda, dan Inggris. Namun, Belandalah yang tercatat paling lama berkuasa di Maluku, yakni 1607-1945 atau selama 338 tahun. Sementara Spanyol menduduki Maluku pada 1521-1663 (142 tahun). Wilayah pendudukan pertama Spanyol adalah Pulau Tidore pada 1521. Berbeda dengan Portugis, kedudukan Spanyol di Tidore benar-benar bermotif ekonomi, yaitu menguasai perdagangan rempah-rempah, terutama cengkeh, dengan konsesi yang diberikan langsung oleh Sultan Al Mansur. Konsesi tersebut berupa monopoli perdagangan cengkeh. Setelah 85 tahun menduduki Tidore, Spanyol kemudian meluaskan wilayah ke Ternate (rival politik dan ekonomi Tidore) melalui penyerbuan yang dipimpin Gubernur Spanyol Don Pedro da Cunha ke Benteng Gamlamo, Ternate, tahun 1606.

[kompas-image-360 src=”https://jalurrempah.kompas.id/wp-content/uploads/sites/138/2017/08/B-Kastela.jpg” caption=”Reruntuhan Benteng Gamlamo atau Benteng Kastela di Ternate.” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]

Setahun setelah Spanyol menduduki Benteng Gamlamo, para kerabat sultan Ternate mengadakan aliansi militer dengan para pelaut Belanda yang dipimpin Laksamana Matelief de Jonge. Pada 13 Mei 1607, armada De Jonge tiba di Ternate. Pada tahun yang sama, De Jonge dan perwakilan sultan menandatangani perjanijan tentang hak monopoli perdagangan rempah-rempah VOC, pembangunan Benteng Oranje, dan permukiman Willemstaad sebagai tukar guling atas bantuan VOC memerangi Spanyol.

Sejak perjanjian ini ditandatangani hingga Spanyol meninggalkan Ternate pada 1663, tidak sekali pun Belanda melakukan aksi militer secara frontal terhadap Spanyol sebagai upaya bantuan kepada Ternate untuk mengusir Spanyol dari pulau tersebut. Alih-alih memerangi Spanyol, Belanda malah berkonsentrasi membangun benteng dan permukiman eksklusif Willemstaad di sekitar benteng. Setelah menyelesaikan pembangunan benteng, Belanda lebih mementingkan aktivitas dagang daripada berperang. Dalam aktivitas perdagangan rempah-rempah ini, Belanda tidak terlibat langsung dalam mengumpulkan komoditas ini dari rakyat.

”Belanda menggunakan kekuasaan sultan untuk mengumpulkan rempah-rempah dari rakyat. Sebagai kompensasinya, sultan diberi upah bulanan atas peran tersebut,” ucap Nani Jafar, sejarawan Universitas Khairun, Ternate.

Nasib Afo sekarang

Kawasan Maluku Utara sampai saat ini masih menjadi daerah penghasil rempah-rempah, terutama cengkeh, meskipun pohon ini pernah dimusnahkan secara massal oleh VOC pada abad ke-17 hingga ke-19 melalui kebijakan extirpatie. Reputasinya sebagai kawasan penghasil rempah tetap bersinar melalui pohon cengkeh dan pala yang tumbuh subur di kaki Gunung Gamalama di Ternate, Gunung Kie Besi di Pulau Makian, dan sebagian kawasan dataran tinggi di Kabupaten Halmahera Barat. Kualitas kesuburan tanah di pegunungan ini tidak pernah berkurang sehingga menghasilkan pohon cengkeh dengan kualitas kelas dunia, sebagaimana yang pernah dialami beberapa abad silam.

Pohon cengkeh di Maluku Utara pernah mengalami masa suram ketika Belanda menerapkan kebijakan extirpatie untuk menjaga stabilitas harga cengkeh dunia. RZ Leirissa dalam buku Halmahera Timur dan Raja Jailolo (1996) menyebutkan, extirpatie merupakan perwujudan yang nyata dari sistem monopoli rempah-rempah VOC di Maluku Utara. Dalam extirpatie, Belanda mendapat hak dari Sultan Mandarsyah dari Ternate dan para sultan di Maluku Utara untuk memusnahkan pohon cengkeh yang dibudidayakan tanpa izin atau yang dianggap terlalu banyak bagi VOC.

 

Belanda hanya menetapkan tiga area sebagai kawasan produksi cengkeh, yaitu Hitu, Leitimor, dan Oeliassers, yang berada di sebelah selatan. Di luar ketiga area tersebut, semua pohon cengkeh harus dimusnahkan, entah dengan cara ditebang atau dibakar. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah perdagangan cengkeh di kawasan utara menyusut total karena semua pohon cengkeh harus dimusnahkan.

Pada masa inilah Hamadal yakin pohon cengkeh Afo yang masih bisa hidup sampai sekarang lantaran perjuangan kakek buyutnya menjaga dan menyelamatkannya dari penebangan atau pembakaran yang dilakukan para prajurit Belanda. ”Saya tidak tahu bagaimana cara mereka menyelamatkan pohon ini, tetapi mereka berhasil menjaganya tetap hidup sampai sekarang,” kata Hamadal. Artinya, meskipun Belanda secara ketat mengontrol produksi cengkeh di Maluku Utara melalui pelayaran hongi (hongi tochten), masih ada upaya negosiasi dari warga untuk menyelamatkan pohon mereka. Di daerah-daerah yang dulu dikenal sebagai penghasil cengkeh, para petani diam-diam kembali menanam, memelihara, dan menuai cengkeh. Mereka mengerjakan itu dalam sebuah lembah tersembunyi yang tidak mungkin didatangi patroli pelayaran hongi. Bila perlu, mereka menyuap para pemusnah untuk tidak menghancurkan pohon mereka.

Pelayaran hongi dihentikan pada 1824 atau 20 tahun lebih setelah VOC dinyatakan bubar. Meski demikian, warga di Maluku Utara masih enggan membudidayakan lagi cengkeh di lahan kebun mereka. Banyak yang trauma lantaran pengalaman memilukan selama dua abad lebih pohon cengkeh mereka menjadi bulan-bulanan Belanda untuk dimusnahkan. Sementara untuk menanam dan merawat hingga berbuah, dibutuhkan waktu puluhan tahun.

Sebetulnya, Pemerintah Hindia Belanda sudah mengizinkan penduduk untuk menanam kembali cengkeh dan produksinya dibayar dengan harga yang tinggi pada 1864 dan 1937. Namun, kebijakan tersebut tidak mampu mengembalikan Kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil cengkeh rakyat. Upaya serupa dilakukan Pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan. Hasilnya tetap sama, tidak berhasil mengangkat komoditas cengkeh seperti yang berlangsung pada masa kolonial.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/185db962-a278-4cb3-8658-761a18bebc56/kvms_13920_benteng_paralaks-1.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’lucky.pransiska’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/08/13920_p.png?v=48′ /]

”Upaya penanaman kembali cengkeh baru memperlihatkan tanda-tanda keberhasilan pada 1970-an yang dimulai dari Tidore. Perlahan-lahan, Tidore bangkit kembali sebagai salah satu produsen cengkeh di Maluku selain Sulawesi, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat,” ujar Jafar Nani.

Pohon-pohon cengkeh yang ditanam kembali di Maluku Utara pada era 1970-an berasal dari bibit cengkeh yang didatangkan dari Pulau Jawa. Selain cengkeh Afo, masih ada satu varietas cengkeh asli asal Makian, yaitu cengkeh Raja yang tumbuh di Gunung Kie Besi, Pulau Makian. Sayangnya, cengkeh jenis ini sudah tidak ada wujudnya lagi lantaran punah bersamaan dengan meletusnya Gunung Kie Besi beberapa puluh tahun silam.

Saat ini cengkeh yang dihasilkan dari Pulau Makian dan kawasan Maluku Utara merupakan cengkeh Zanzibar yang bibitnya berasal dari negara Zanzibar. Cengkeh jenis inilah yang sekarang paling populer di kalangan petani cengkeh di Maluku Utara. Nama cengkeh Raja dan cengkeh Afo hanya tinggal kenangan bagi mereka. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)