Pemalsuan adalah cerita yang jamak dalam perdagangan rempah. Tingginya permintaan, keterbatasan pasokan, serta faktor biaya produksi menjadi latarnya, tetapi jadi sempurna karena motif mencari keuntungan lebih. Ada pencampuran yang dianggap wajar, tetapi tak sedikit yang berbahaya dan kurang ajar.

Petani dan pedagang pala di Pulau Siau, Sulawesi Utara, menjadi sebagian korbannya. Sebab, tak sedikit pedagang luar Pulau Siau yang mengklaim palanya adalah pala Siau demi mendongkrak harga. Mereka kadang mengangkutnya ke Pulau Siau terlebih dulu sebelum mengirimnya ke Manado atau Bitung untuk memperkuat klaim bahwa itu pala Siau.

”Beda harganya (antara pala Siau dan luar Siau) bisa Rp 3.000-Rp 6.000 per kilogram. Sementara biaya angkut Siau-Manado hanya Rp 750-1.000 per kilogram. Jadi, modus mengangkut ke Siau terlebih dulu masih masuk hitungan,” kata Sigit Ismaryanto, Direktur Operasional PT Agripro Tridaya Nusantara, di Manado, Sulawesi Utara, awal Juni 2017.

Biji pala dan fuli dari Siau terkenal baik mutunya, antara lain, karena aromanya yang kuat dan kandungan miristisin yang tinggi sehingga lebih mahal harganya dan diincar banyak pedagang eksportir. Ketika harga biji pala kering di Siau berkisar Rp 56.000-Rp 57.000 per kg, komoditas serupa dari luar Siau sekitar Rp 52.000 per kg. Harga fuli di Siau Rp 130.000 per kg, di luar Siau berkisar Rp 125.000 per kg.

Aktivitas perdagangan biji pala dipasar di Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Sulawesi Utara, Jumat (2/6). Pedagang kecil membeli biji pala dan fuli hasil panen warga dalam skala kecil. Adapun pengepul membeli dalam skala yang lebih besar dalam skala kuintal.

Modus mencampur dengan komoditas serupa yang lebih murah masih kerap terjadi. Pedagang pala di Ternate, Maluku Utara, misalnya, beberapa kali mendapati pasokan fuli atau biji pala dari pedagang atau pengepul yang telah dicampur dengan pala hutan atau pala fakfak. Pala jenis ini lebih murah harganya karena miskin kandungan miristisin.

Peneliti Dewan Atsiri Indonesia di Maluku Utara sekaligus dosen Program Studi Teknologi Pertanian Universitas Khairun Ternate, Indah Rodianawati, menyebutkan, pencampuran terkadang dipicu oleh ketidaktahuan petani. Dalam beberapa kasus di Ternate, petani pala tidak tahu bahwa pala yang dipanennya adalah jenis pala hutan, kadang pala fakfak yang kurang diminati pedagang.

Pemalsuan juga jadi hal yang umum pada perdagangan pala di pasar dunia. Minyak esensial (essential oil) dari pala Myristica fragrans, jenis pala yang banyak diperdagangkan di dunia, misalnya, dicampur atau dipalsukan dengan minyak esensial dari pala jenis lain, seperti Myristica argentea yang di pasar dikenal sebagai pala papua, Myristica malabarica atau dikenal sebagai pala bombay, dan Myristica otaba yang dikenal sebagai pala otaba. Hal itu teridentifikasi dari miskinnya kandungan di dalam minyak.

Vanili sintetis, lada semen, dan gambir tanah liat

Tingginya permintaan dan minimnya suplai juga mendasari pemalsuan vanili. CC de Guzman dalam Handbook of Herbs and Spices menyebutkan, ekstrak vanili alami paling banyak dipalsukan dengan vanili sintetis yang murah. Kecurangan ini menarik bagi pelaku karena besarnya keuntungan yang didapat.

Ilustrasinya, 1 kg biji kacang vanili di Madagaskar menghasilkan sekitar 8,4 liter ekstrak vanili, sementara 1 kg vanili sintetis yang dikombinasikan dengan ekstrak botani lain menghasilkan 499 liter perasa vanilla buatan, lebih dari 50 kali lipat vanili alami. Vanillin sintetis diproduksi melalui beberapa cara berbeda dengan eugenol, guaiacol, safrole, atau lignin sebagai senyawa awal.

Tingginya harga vanili mendorong sebagian pedagang di Indonesia berbuat curang. Pemberitaan Kompas, serta cerita pelaku dan peneliti, pedagang menyuntik vanili dengan air raksa atau mencampur vanili kering dengan serbuk besi untuk melipatgandakan keuntungan dengan menambah berat vanili. Tak hanya membahayakan konsumen, modus ini menghancurkan harga dan citra vanili Indonesia.

Peneliti senior yang juga mantan Kepala Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Pasril Wahid, menyatakan, tingginya harga mendorong pedagang bertindak tidak sehat. Kini, harga vanili melambung hingga Rp 2,5 juta per kg, terdorong oleh berkurangnya pasokan ke pasar dunia serta fenomena gaya hidup sehat dengan kembali ke bahan alami.

Tingginya harga vanili mengundang pencuri. Sejumlah peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung menceritakan hilangnya buah vanili siap panen di kebun penelitian di Bandar Lampung pada April 2017. Pencuri diduga terdorong oleh harga vanili yang sampai Rp 3 juta per kg.

Petugas memeriksa berbagai tanaman yang dikembangkan di kebun percobaan milik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung di Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Rabu (5/4). Kebun percobaan tersebut mengembangkan komoditas tanaman yang menjadi potensi Lampung, seperti lada, vanili, kakao, dan kopi.

Cerita tentang pencurian vanili juga jamak sejak dulu. Pada awal 1979, banyak petani vanili di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, beralih ke komoditas lain akibat maraknya pencurian vanili. Pada tahun 1981, produksi vanili di Temanggung, Jawa Tengah, hancur karena fenomena pencurian yang tak tertangani selama beberapa tahun. Selain serangan hama penyakit, maraknya pencurian juga ditengarai memicu anjloknya produksi vanili Nusa Tenggara Barat, dari 300 ton menjadi 20 ton per tahun selama 10 tahun, hingga 2003.

Kasus pemalsuan rempah juga terjadi pada produk lada. Di Lampung pernah ditemukan lada hitam yang bercampur dengan pelet (makanan ikan), batu kerikil, dan butir-butir semen. Pencampuran itu diduga kuat bukan semata-mata keteledoran, tetapi kesengajaan untuk menambah berat lada.

”Sekilas, butiran-butiran pelet, batu, dan semen itu mirip lada hitam. Dengan mengoplos lada hitam dengan benda-benda tersebut, maka saat ditimbang berat lada bertambah banyak,” ujar Sumita, Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Lada Indonesia.

Praktik perdagangan yang tidak fair muncul pula pada produk gambir, yaitu dengan mencampur getah gambir dengan tanah liat yang warnanya relatif sama. Akibat praktik ilegal ini, ekspor gambir Indonesia ke luar negeri terhenti pada periode 1980 hingga 1990-an.

Karena praktik-praktik tidak jujur tersebut, banyak pembeli luar negeri akhirnya merasa tertipu dan tidak mau membeli lagi rempah-rempah dari Indonesia.

”Banyak negara sekarang menginginkan produk rempah yang asli, bukan sintetis. Kesempatan ini mestinya kita manfaatkan untuk memperbaiki kualitas. Kalau perdagangan tidak fair terus-menerus dilanjutkan oleh orang-orang yang ingin cepat kaya, maka rempah kita tidak laku lagi di pasaran,” tutur Pasril. (MUKHAMAD KURNIAWAN/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)