Biji pala dan fuli dari Pulau Siau, Sulawesi Utara, adalah salah satu yang terbaik di pasar rempah dunia, antara lain, karena aroma yang kuat dan kandungan miristisin yang tinggi. Harganya lebih mahal dibandingkan dengan pala daerah lain. Oleh karena itu, pala Siau menjadi target pemalsuan.

Zaini Usman (23) mengamati sekarung biji pala yang dibawa pengepul ke gudangnya di Kawasan Pergudangan Pehe, Kecamatan Siau Barat, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, awal Juni 2017. Matanya meniti dengan teliti. Tangannya meraih beberapa biji, mengguncangkannya di dekat telinga, lalu menjatuhkan dua di antaranya ke lantai.

”Praakkk, prakkk!” Kaki kanannya menggilas batok pala sampai pecah. Dia ambil dan amati isinya. ”Ini sudah ada serangganya di dalam (kulit biji), sementara yang ini belum cukup kering, ada potensi rusak karena jamur,” kata Zaini.

Pala-pala dengan kondisi kurang baik dia singkirkan. Zaini lalu mengecek karung-karung lain yang ditawarkan pengepul atau petani ke gudangnya. Jika lolos pada sortir awal, pekerja lain akan segera menimbang, menentukan harga, dan mencatatnya dalam papan informasi.

Ferianto Yacobus (54) membelah buah pala untuk diambil fulinya di Desa Lai, Kecamatan Siau Tengah, Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara.

Dua pekerja lain, Ahmad Samalam (41) dan Khoirul Fadil (19), menyortir lagi biji-biji pala yang dinilai masuk kriteria pembelian. Keduanya mencemplungkannya ke ember berisi air, memisahkan fuli dari biji, lalu memilih biji-biji berdasarkan mutunya. Hanya pala yang memenuhi kriteria yang akan diproses selanjutnya, yakni pengeringan dengan mesin.

Pengeringan menjadi faktor kunci penanganan pascapanen komoditas pala. Pada proses ini, pala justru sering jadi rusak karena kondisinya tidak benar-benar kering. Petani atau pengepul seperti di Siau, Ternate, Makian, dan Tidore biasanya menjemur biji pala di atas terpal di lantai tanah atau aspal jalan. Pengeringan berlangsung 7-10 hari sesuai kondisi penyinaran matahari.

Saat hujan, proses pengeringan jadi lebih lama. Selain repot membuka tutup terpal atau membawanya keluar masuk rumah, petani sering rugi karena pala jadi rusak. Akibat lembab, jamur mudah tumbuh dan merusak biji pala. Sayangnya, tak sedikit petani atau pengepul kecil yang menghadapi problem ini.

Penolakan

Aflatoksin, senyawa beracun dari jamur yang bersifat karsinogenik bagi manusia, adalah alasan penolakan paling umum pada perdagangan pala. Dalam banyak kasus, pala asal Indonesia ditolak masuk ke Uni Eropa terutama karena temuan aflatoksin pada sebagian biji pala.

Standar internasional untuk perdagangan pala dan fuli mengacu pada ISO 6577:2002. Namun, meski memiliki standar nasional, pedagang Eropa mematok kualitas lebih tinggi, merujuk pada spesifikasi kebersihan American Spice Trade Association (ASTA). Handbook of Herbs and Spices mencatat, komplain paling umum adalah karena aflatoksin (Belanda dan Jepang), salmonela (Inggris), dan serangga (Amerika Serikat).

Banyaknya persyaratan yang ditetapkan otoritas keamanan pangan atau pemerintah negara tujuan menuntut eksportir pala di Indonesia bekerja keras. Mereka memilih fuli dan biji pala dengan cermat sebelum pengiriman. Sebab, sekali mendapat catatan buruk di wilayah tujuan, perusahaan eksportir akan kesulitan memasukkan barangnya di kemudian hari.

Aktivitas perdagangan biji pala di pasar di Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara, Jumat (2/6). Pedagang kecil membeli biji pala dan fuli hasil panen warga dalam skala kecil. Adapun pengepul membeli dalam skala yang lebih besar dalam skala kuintal.

Sayangnya, kinerja lembaga serta dukungan sarana prasarana terkait pengujian mutu di Indonesia belum optimal. Kalangan eksportir antara lain mengeluhkan terbatasnya laboratorium pengujian serta panjangnya proses untuk mendapatkan sertifikat keamanan pangan. Aspirasi itu disampaikan dalam rapat Dewan Rempah Indonesia di Jakarta pada 22 Februari 2017.

Direktur Operasional PT Agripro Tridaya Nusantara (ATN) Sigit Ismaryanto mencontohkan, proses pengambilan sampel oleh Otoritas Kompeten Keamanan Pangan butuh waktu hingga 14 hari, sementara pengujian di laboratorium 7-10 hari dalam situasi normal. Artinya, proses pengambilan sampel, pengujian, sampai terbit sertifikat lebih dari 20 hari dan harus mengulang dari awal ketika tidak lolos.

Indonesia hanya punya dua laboratorium yang mengantongi referensi Uni Eropa, yakni Pusat Pengujian Mutu Barang Kementerian Perdagangan di Ciracas, Jakarta Timur, dan PT Angler Biochemlab di Surabaya, Jawa Timur. Padahal, ada puluhan eksportir pala yang tersebar dari Aceh hingga Papua dan lebih dari 40 kontainer pala dikirim ke Eropa setiap bulan.

Kegagalan dalam proses ini membawa dampak ganda bagi eksportir. Selain rugi waktu, mereka juga harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengulang proses pengujian. Ketidaktelitian pengujian di Indonesia juga berisiko produk ditolak karena tidak lolos dalam uji mandatori di laboratorium di negara tujuan.

Sasar hulu

Dengan kondisi itu, eksportir menyasar kebun dan petani untuk memastikan pala aman sejak hulu. PT ATN, misalnya, memilih membangun instalasi pengolahan dan menggalang kerja sama dengan petani di Pulau Siau. Harapannya, petani dan pedagang paham tentang cara menangani pala ketika masih di pohon, saat panen, dan pascapanen.

Demi mendapatkan pala dengan kadar air minimal, PT ATN membeli pala dalam kondisi basah. Biji pala lalu dikeringkan dalam mesin selama empat hari penuh tanpa henti. Dengan pemilihan di awal dan pengeringan yang seragam, Sigit optimistis mutu pala produksinya terjaga.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/ec47781e-2b08-402b-aee1-93d725b558e7/kvms_23696_paralaks_pala_manado.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’lucky.pransiska’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/08/23696_p.png?v=47′ /]

Selain swasta, sebagian petani juga berupaya memacu mutu bersama Lembaga Perlindungan Indikasi Geografis (LPIG) Pala Siau. Selain menaungi 4.590 petani pala yang tersebar di 51 kampung di enam kecamatan di Pulau Siau, lembaga ini juga menaungi pedagang pengumpul dan eksportir yang berbasis di pulau yang terletak di timur laut Sulawesi Utara ini.

Saat ini, di Pulau Siau terdapat 3.437 hektar kebun pala. Sekitar 2.000 hektar di antaranya dikelola 2.070 keluarga dan telah menghasilkan buah. Secara total, produksi biji pala kering dari pulau ini mencapai 5.210 ton per tahun.

Ketua LPIG Pala Siau J Robby Kiwol menambahkan, petani berharap mendapat keuntungan lebih dengan menjaga mutu dan sertifikat indikasi geografis. Perbaikan mutu tersebut juga diharapkan dapat mendongkrak volume, nilai, dan citra pala Indonesia di pasar dunia. (MUKHAMAD KURNIAWAN/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)