Lonjakan harga lada (Piper nigrum) sejak tahun 2006 mengubah kehidupan warga. Di pinggiran Danau Ranau di Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, kebun kopi segera berganti lada, setidaknya saling mengisi atau tumpang sari. Si ”raja rempah” ini menjadi orientasi baru para pekebun rakyat.
Turun dari mobil barunya, Ali Akbar (64) bergegas menuju gubuk yang berdiri di tengah kebun kopi dan lada miliknya di Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Jumat (10/3) pagi. Dia melepas topi koboi, jaket kulit, dan sepatu, lalu masuk ke gubuk untuk berganti ”seragam dinas” kebun.
Berbekal parang, Ali memanjati satu per satu pohon gamal (Gliricidia sepium), tajar hidup yang menjadi tiang rambat bagi tanaman lada. Tingginya 3-5 meter. Ali lalu menebas batang, dahan, dan daun gamal yang menutupi pucuk lada. Dia juga mengecek daun-batang lada untuk memastikannya sehat. Tak ada serangan hama atau penyakit.
Ketika itu, ladanya sedang berada pada fase pembuahan, penting agar sinar matahari tak terhalang masuk. Harapannya, proses fotosintesis dan pembuahan berlangsung sempurna sehingga panen optimal. Sepuluh tahun terakhir, Ali merasakan betul hasilnya.
Dari lada, Ali bisa berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji tahun 2006, empat kali umrah bersama istri selama kurun 2011-2017, dan membeli mobil baru seharga Rp 285 juta secara tunai!
Sebelum tahun 2006, harga lada hasil petani di pinggiran Danau Ranau hanya Rp 400 per kilogram (kg), lebih rendah daripada harga kopi yang ketika itu Rp 1.000 per kg. Tahun 2006, harga lada melonjak berlipat menjadi Rp 80.000 per kg meski tak stabil sepanjang tahun. ”Saya lalu tanam lada karena saya pikir prospeknya bagus,” ujarnya.
Prediksi Ali benar. Meski berfluktuasi, harga jual lada menguntungkan petani. Puncaknya terjadi pada tahun 2015-2016 ketika harga lada menembus angka Rp 120.000-Rp 150.000 per kg. Dari 1,5 hektar kebunnya, Ali memanen sekitar 3 ton lada dan mendapatkan hasil kotor Rp 360 juta hingga Rp 450 juta per tahun.
”(Keuntungan) Bersihnya sekitar Rp 260 juta,” kata Ali yang biasa dipanggil Pak Haji.
Dari lada, Ali bisa berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji tahun 2006, empat kali umrah bersama istri selama kurun 2011-2017, dan membeli mobil baru seharga Rp 285 juta secara tunai! Lada pula yang mencukupi dan mengubah hidup petani dan warga desanya. Ini terlihat dari rumah-rumah yang berdiri mentereng atau sepeda motor dan mobil yang lalu lalang.
Tak hanya OKU Selatan yang menjadi lumbung lada Sumatera Selatan. Lada juga menghidupi petani di Bangka Belitung. Bersama Lampung, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan, Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung adalah sentra utama lada di Indonesia. Kelima provinsi ini menyumbang 83,7 persen produksi lada nasional yang pada tahun 2014 mencapai 91.941 ton. (MKN/DRI/ABK)