Jalan semakin menanjak ketika menapak kaki Gunung Pulosari di Desa Pandat, Mandalawangi, Pandeglang, Banten, April lalu. Pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, Somad (60) menunjukkan sulur-sulur tanaman rambat dengan lingkar batang mencapai 6 sentimeter. Itulah bonggol-bonggol lada yang diduga merupakan sisa-sisa perkebunan lada tua di pedalaman Banten.

Sebagian sulur-sulur besar itu berserakan di tanah. Ada pula yang merambat tinggi melilit di sekeliling pohon-pohon dadap besar.

”Kami tak tahu sejak kapan lada-lada ini ditanam. Yang jelas, sejak dahulu tanaman ini memang sudah tumbuh di hutan ini,” kata Somad, warga setempat.

Penemuan tanaman lada tua ini cocok dengan isi dokumen kuno Belanda tahun 1800-an yang menyebut sekitar 180 daerah di Banten di sekitar Gunung Karang, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan merupakan penghasil lada. Selain mencantumkan nama-nama daerah atau kampung-kampung penghasil lada, dokumen tersebut juga mendata nama-nama petani hingga pengepul lada pada saat itu.

Untuk menelusuri lokasi daerah-daerah penghasil lada zaman dahulu, para peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) mencocokkan isi dokumen Belanda tersebut dengan peta lama tahun 1940-an. ”Kami menggunakan peta tua untuk mencari nama-nama kampung lama yang masuk di dalam naskah itu. Dari situlah, kami mencoba menelusuri titik lokasinya,” ujar arkeolog senior Puslit Arkenas, Sonny Wibisono.

Hampir di semua daerah itu tanaman lada sudah sulit ditemukan. Namun, setelah ditelusuri, ternyata di pelosok kampung Desa Pandat di lereng Gunung Pulosari masih tersisa tanaman-tanaman lada tua.

Batang merambat tanaman lada dengan lingkar batang mencapai 6 sentimeter di hutan Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Banten, Minggu (2/4).

Nama daerah Pandat memang tercatat dalam dokumen kuno Belanda sebagai kawasan penghasil lada. Selain menemukan bonggol-bonggol lada tua, di daerah itu para arkeolog juga menemukan kepingan keramik-keramik China peninggalan abad ke-14 hingga ke-16 serta batu-batu penggilas, batu landasan, dan gilasan berbentuk cobek yang kemungkinan dimanfaatkan untuk menggerus lada.

”Penemuan lada-lada tua, keramik, dan batu-batuan ini menguatkan fakta sejarah bahwa Banten Girang (cikal bakal Banten Lama) dulu pernah menjadi kerajaan penghasil lada sekitar abad ke-9 hingga ke-14,” ujar Sonny.

Komoditas paling menguntungkan

Joanna Hall Brierly dalam bukunya Spices, The History of Indonesia’s Spice Trade (1994) mencatat, lada sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-6 melalui Pulau Jawa dan Sumatera. Di Indonesia, lada mendapat sebutan nama baru merica yang diambil dari bahasa Sanskerta.

Pada abad ke-7, lada tumbuh sebagai komoditas perdagangan paling menguntungkan yang didatangkan Kepulauan Nusantara (Banten dan Sumatera) ke China. Memasuki abad ke-16, perdagangan lada di China bergeser ke Pelabuhan Banten.

Pada masa itu, Banten menjadi pusat perdagangan Asia. Setiap tahun sekitar 1.500 ton lada diekspor dari Banten ke China.

Selain ke China, negara-negara Eropa secara rutin juga mengimpor lada dari Banten rata-rata 3.000 ton per tahun. Sementara itu, Amerika baru mulai merambah perdagangan lada pada pertengahan abad ke-18 ketika rute pelayaran reguler dari kota Salem, Massachusetts, ke Batavia dibuka.

Karena ramainya tata niaga lada, hampir semua pedagang dari sejumlah negara sampai tinggal di kota pesisir Banten. Sketsa ilmuwan Belanda, Serrurier, pada 1902 menunjukkan kawasan Karangantu sebagai permukiman orang-orang asing, antara lain China, Malaya, Portugis, dan Belanda.

Akhir abad ke-12, penulis China, Zhao Rugua, juga sudah menyebut Banten sebagai daerah penghasil lada. Pada masa itu, lada merupakan produk perdagangan utama jalur sutra selain pala, cengkeh, dan kayu manis.

Tome Pires ketika pertama kali berlabuh di Banten pada 1512 mencatat Banten sebagai kerajaan penghasil merica yang kualitasnya lebih baik daripada merica Cochin atau Kochi, Negara Bagian Kerala, India. Karena sangat diminati negara-negara luar, lada terus-menerus dikembangkan sebagai komoditas pertanian utama pada masa itu.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/98a3863b-c704-49ff-bf5a-a4b1ac71febd/kvms_13372_20170718_jejak_rempah_eps_banten_lampung.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Menengok lada-lada Tua Banten’ credit=’Kompas Newspaper’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/07/13372_p.png?v=2′ /]

Cocok dikembangkan

Lada pertama kali dibawa para pedagang Arab dan Persia dan kemudian ditanam di sekitar Banten. Dari Banten, tumbuhan itu lalu dikembangkan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.

”Lada merupakan tanaman asli India yang dibawa ke Nusantara dan dikembangkan pertama kali di Banten. Kebetulan, tanaman ini cocok dibudidayakan di daerah tersebut,” kata Pasril Wahid, pakar tanaman lada sekaligus mantan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian.

Namun, karena hasilnya kurang bagus, lada kemudian dibawa ke seberang pulau di Sumatera. Di sana, lada tumbuh subur dan bisa dikembangbiakkan menjadi berbagai macam varietas baru.

”Di Sumatera bermunculan varietas-varietas lada yang menunjukkan nama-nama tempat, seperti Aceh, Kerinci, Jambi. Varietas-varietas ini juga bisa ditemukan di Bangka, Kalimantan Barat, hingga Sarawak di Malaysia,” papar Pasril.

Meski berkembang pesat di Sumatera dan beberapa daerah lain, sisa kejayaan perkebunan lada di Banten nyaris sirna. Menurut peneliti Balittro, Nurliani Bermawie, varietas lada Banten kini semakin sulit ditemukan, sebaliknya varietas lada Lampung justru terus berkembang.

Penemuan sisa perkebunan lada tua di kaki Gunung Pulosari, Pandeglang, menjadi pengingat sekaligus penegas bahwa Banten dan tanah air ini dikaruniai berkah kesuburan dengan hasil panen melimpah. Bonggol-bonggol tua itulah yang menjadi penanda sejarahnya. (ALOYSIUS B KURNIAWAN/MUKHAMAD KURNIAWAN/DWI BAYU RADIUS)