Pusat Kesultanan Banten hanya seukuran satu kecamatan dengan luas sekitar 1 kilometer x 1 kilometer. Namun, dengan hasil bumi lada, daerah itu bisa berhubungan dengan negara-negara asing dari berbagai penjuru dunia, seperti Malaka, China, Gujarat, Turki, Portugis, Inggris, Denmark, dan Belanda.
Benteng Speelwijk di Banten Lama masih tampak kokoh dengan tumpukan batu-batu karangnya yang kekar. Namun, Kampung Pamarican yang berada di belakangnya sudah tak berbekas. Bekas pelabuhan internasional itu kini sudah berubah menjadi perkampungan nelayan yang kumuh dan tidak tertata.
”Pamarican yang berada di dekat Benteng Speelwijk dulu merupakan gudang-gudang merica atau lada,” kata arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Sonny Wibisono, April lalu.
Hasil sketsa ilmuwan Belanda, Serrurier, pada 1902 menunjukkan bagaimana Kesultanan Banten dirancang dengan sangat terstruktur. Kota pesisir itu dibagi dalam 33 permukiman yang sangat multikultur, antara lain Pakojan (permukiman orang Timur Tengah), Karangantu (permukiman orang asing), Kebalen (permukiman orang Bali), dan Karoya (permukiman pribumi).
Cournelis de Houtman yang berlabuh di Banten 27 Juni 1596 sampai terkesima dengan kota kecil yang menurut dia mirip Amsterdam itu. Kota Banten Lama dibangun dengan tata kota yang sangat teratur, mulai dari Keraton Surosowan dan Masjid Agung di sebelah barat alun-alun (1526-1570) hingga pembangunan Danau Tasik Ardi untuk menampung air yang dialirkan ke keraton melalui tiga rumah penyaringan, yaitu pangindelan (penyaringan) abang, putih, dan emas (1570-1596).
Di sekeliling kota ini juga dibangun benteng yang diperkuat dengan meriam-meriam (1596-1659). Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672-1684), Belanda juga membangun Benteng Speelwijk yang menghadap ke pantai.
”Speelwijk menjadi semacam loji atau gudang milik Belanda. Benteng itu memang berada di Kampung Pamarican, tempat gudang-gudang merica atau lada,” ujar Sonny.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/bbe053ba-db18-499c-8dee-67237fdaef53/kvms_13380_peta-banten_lama.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’pandu.lazuardy’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/07/13380_p.png?v=13′ /]
Jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten, Banten memang sudah berkembang sebagai daerah makmur dengan penghasilan utama lada. Akhir abad ke-12, penulis China, Zhao Rugua, sudah menyebut Sin-t’o atau Sunda yang tak lain adalah Banten sebagai daerah penghasil lada.
Awalnya, pusat pemerintahan Banten berada di daerah pedalaman bernama Banten Girang yang berjarak sekitar 56 kilometer dari Banten Lama. Namun, pada akhir 1526, pasukan Demak yang dipimpin Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, merebut Pelabuhan Banten dan ibu kota Banten Girang.
Penguasaan Banten Girang sebagai negara bagian dari Demak merupakan awal dari berkembangnya dinasti Islam di kerajaan itu. Sebelumnya, Banten Girang merupakan kerajaan Hindu.
Diplomasi lada
Proses perebutan Banten Girang oleh Demak berlangsung sangat dramatis. Dalam arsip Nasional Lisbon 1522 ditulis, Raja Sunda atau Raja Banten Girang pernah meminta bantuan Portugis untuk melawan Demak.
Sebagai gantinya, Portugis diperbolehkan membangun benteng dan akan diberi 1.000 karung lada atau sekitar 160 bahar (11.200 kilogram) setiap tahun. Akan tetapi, tawaran itu tak segera ditanggapi Portugis sampai dengan perebutan Banten Girang oleh pasukan Demak akhir 1526.
Kontak Banten dengan dunia internasional semakin dipertegas dengan ditemukanya pecahan keramik-keramik China dari Dinasti Song Selatan dan Yuan ketika Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penggalian di Situs Banten Girang pada 1990-1993. Artefak pecahan keramik China banyak tertimbun di kedalaman 5-7 meter.
Seperti dicatat Zhao, dari akhir abad ke-12 hingga awal abad ke-17, China terus-menerus menjadi pembeli utama lada berkualitas Banten. Perdagangan lada Banten ke China surut ketika JP Coen melarang paksa perahu-perahu jung China merapat di Pelabuhan Banten, seperti ditulis Claude Guillot dalam bukunya Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (2008).
April lalu, Tim Ekspedisi Jalur Rempah Kompas menyusuri langsung bekas pusat pemerintahan Banten Girang di Serang, Banten. Kompleks kerajaan seluas 8 hektar itu kini telah berubah wujud menjadi perkampungan padat. Di Situs Banten Girang ditemukan sisa-sisa benteng tanah dan diperkirakan kota itu sudah berkembang sejak abad ke-9.
[kompas-image-360 src=”https://d33qo677evbora.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/138/2017/07/Keraton-Kaibon.jpg” caption=”Keraton Kaibon, salah satu peninggalan Kesultanan Banten Lama.” credit=”KOMPAS/Luhur Arsiyanto Putra” /]
Bergesernya pusat pemerintahan Banten Girang menuju daerah pesisir sejauh 56 kilometer pada 1526-1570 semakin mengukuhkan Banten sebagai kota perdagangan internasional dengan lada sebagai alat diplomasinya. Surat Sultan Abul Fath kepada Raja Inggris Charles II tahun 1664, misalnya, disebut sebagai surat persahabatan yang disertai 100 bahar (7.000 kilogram) lada hitam dan 100 pikul jahe sebagai bentuk cinta dan perdamaian. Rempah-rempah itu ia tukar dengan senjata.
”Lada telah mengantar Banten sebagai sentra niaga dan kota maritim multikultur, seperti Malaka di Semenanjung Melayu, Ayutthaya di Thailand, Hoi An di Vietnam, Amoy di Xiamen, China, Deshima di Taiwan, atau Sakai di Jepang. Pertumbuhan ini menandai kejayaan Asia, terutama sebelum Eropa datang,” papar Sonny.
Pasokan lada Lampung
Agar bisa memenuhi kebutuhan pasar lada, Banten memperluas wilayahnya hingga Lampung. Dalam catatan dalung yang memuat perjanjian hukum antara Banten dan Keratuan Darah Putih Lampung, termuat ketentuan, salah satunya, orang Lampung diminta menanam lada sedikitnya 500 batang per orang. Sampai tahun 1700-an, ketika Belanda berkuasa, permintaan lada di Banten dan Lampung masih tetap tinggi.
Bukti-bukti kerja sama tata niaga lada antara Kesultanan Banten dan Keratuan Darah Putih masih disimpan ahli waris Keratuan Darah Putih. Putra pimpinan Keratuan Darah Putih Dalom Kesuma Ratu 3, Raden Kesuma Yuda Budiman Yakub, April lalu menunjukkan tiga cap besi berbentuk bulat. Salah satu di antaranya bertuliskan huruf Arab pegon berbunyi ”Dalom Kesuma Ratu. Dari yang perintah Negeri Banten Kepala di Sekampung”.
Cap pertama adalah Cap Keratuan Darah Putih dan cap kedua serta ketiga yang berukuran lebih kecil merupakan cap stempel jual beli. ”Cap kedua dan ketiga adalah stempel dagang. Salah satunya adalah cap khusus perdagangan lada dengan Kerajaan Inggris,” ujar Budiman.
Ketiga stempel bersejarah itu menandai arus perdagangan hasil bumi lada Lampung. Pada abad ke-16, Lampung memang dikenal sebagai penghasil lada yang turut memasok kebutuhan lada Kesultanan Banten.
Sekarang, Lampung masih menjadi produsen lada dengan total luas lahan 45.000 hektar, dengan produksi mencapai 14.860 ton pada 2016. Sebaliknya, di Banten justru semakin sulit ditemukan perkebunan lada skala besar.
Sampai saat ini, lada hitam Lampung atau Lampung Black Pepper masih sangat dikenal pasar rempah dunia selain Muntok White Pepper. Namun, apakah lada hitam Lampung masih menjadi ”duta diplomasi” ke panggung internasional seperti zaman Kesultanan Banten?
Faktanya, Indonesia sekarang tak lagi menjadi produsen lada terbesar dunia. Kapasitas produksi lada Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Vietnam yang pada era 1980-an belajar menanam lada ke negeri ini. (ALOYSIUS B KURNIAWAN/MUKHAMAD KURNIAWAN/VINA OKTAVIA/DWI BAYU RADIUS)