Bumiku Tanoh Lampung Kulawi
Panjak Wah-Wah Di Nusantara
Tani Tukun Sangun Jak Jebi
Tanoh Lampung Tanoh Lado
Sepenggal lirik lagu daerah bertajuk ”Tanoh Lado” ini menggambarkan bahwa tanah Lampung tidak bisa dipisahkan dari lada/lado. Bumi ”Ruwa Jurai” ini dikenal sebagai penghasil lada hitam atau black pepper terbesar sejak zaman penjajahan Belanda, Inggris, dan Portugis. Hingga kini komoditas lada merupakan salah satu rempah-rempah yang menjadi andalan Provinsi Lampung. Tidak mengherankan jika lada menjadi salah satu bagian lambang provinsi di ujung timur Pulau Sumatera ini.
Lada hitam lampung memperoleh Sertifikat Indikasi Geografis karena memiliki reputasi baik di pasar domestik dan juga pasar internasional pada tahun 2015. Sertifikat itu merupakan legalitas merek Lada Hitam Lampung sebagai milik masyarakat Lampung yang produk ladanya memiliki karakteristik cita rasa dan aroma khas yang tidak dimiliki daerah lain di dunia.
Lada hitam lampung memiliki ciri berwarna hitam sampai kecoklat-coklatan dengan kadar air maksimal 13 persen, kadar piperine 3,29-4,7 persen, minyak atsiri 1,14-2,89 persen, dan oleoresin 12,8-15,20 persen. Bentuknya kecil dan padat, tetapi memiliki tingkat kepedasan yang dapat bertahan lama dengan aroma yang sangat kuat.
Lada hitam itu dihasilkan dari buah lada (Piper nigrum) yang merupakan salah satu tanaman rempah paling tua, bernilai tinggi, dan populer di dunia. Bernilai karena pada zaman dulu lada hitam biasa digunakan sebagai alat tukar, pembayaran pajak, ataupun seserahan perkawinan. Bahkan, hinga kini lada dijuluki sebagai ”King of Spice” atau raja rempah-rempah. Selain banyak digunakan sebagai bumbu karena baunya yang sangat tajam, lada juga digunakan untuk pengawet daging, obat, dan minyaknya untuk parfum.
Pengaruh Banten
Meskipun perkebunan lada di Lampung sudah ada sebelum Lampung dikuasai Banten, lada lampung dikenal dunia tidak bisa dilepaskan dari peran Kesultanan Banten yang secara politik menguasai Lampung pada abad ke-16. Di bawah kekuasaan Banten, masyarakat Lampung diwajibkan menanam dan memelihara lada sebanyak 500 batang. Hasil ladanya diwajibkan dijual dan dibeli oleh Kesultanan Banten. Meski tidak dikenai pajak, harga jual lada ditentukan oleh kesultanan. Alhasil, Kesultanan Banten pun mampu menguasai perdagangan lada di Jawa dan Sumatera.
Seiring menguasai perdagangan lada, Banten yang wilayahnya menjangkau hingga Lampung dan Sumatera Selatan itu ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari China, Arab, dan Eropa. Pesisir utara Laut Jawa pun ramai dengan lalu lintas kapal yang membawa hasil bumi. Pasar Karangantu yang lokasinya dekat pelabuhan menjadi pusat perdagangan internasional. Lada yang merupakan komoditas utama Kesultanan Banten menjadi barang yang banyak ditransaksikan di pasar tersebut. Sejak saat itulah, Lampung menjadi sumber pemasok utama bagi perdagangan lada di Banten.
Masuknya pengaruh Banten terhadap perkembangan lada lampung tidak terlepas pula dari masuknya Islam ke wilayah ini. Bukti-bukti masa permulaan masuknya pengaruh Banten bisa dilihat di Piagam Tembaga (Piagam Kuripan) yang ditemukan di rumah kerabat Raden Intan di Kampung Kuripan (Kecamatan Penegahan, Kabupaten Lampung Selatan). Isinya berupa perjanjian persahabatan yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin dari Banten dan Ratu Darah Putih dari Keratuan Darah Putih (Lampung). Kedua pemimpin itu adalah anak Fatahillah (Sunan Gunung Jati) yang berlainan ibu.
Bukti lain kekuasaan Banten bisa dilihat pada Piagam Sukau berangka tahun 1104 hijriah atau kira-kira tahun 1695, saat mereka berwenang mengangkat dan memecat kepala-kepala daerah Lampung serta kewajiban mereka untuk mengumpulkan lada bagi Banten. Pada masa antara tahun 1500-1800, pengaruh Banten atas Lampung sudah demikian kuat.
Lampung akhirnya dikuasai VOC, setelah mereka berhasil meruntuhkan kedaulatan Kesultanan Banten sehingga dapat memonopoli perdagangan lada di Lampung. Keruntuhan Kesultanan Banten berawal dari pergolakan di Banten tahun 1682, yaitu perselisihan antara Sultan Banten Sultan Ageng Tirtayasa dan putra mahkota Sultan Haji. Sultan Haji yang terdesak meminta bantuan VOC dengan janji akan menyerahkan beberapa daerah yang dikuasai Tirtayasa berikut negeri-negeri lada yang menjadi pasar Banten, termasuk Lampung.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa kalah, Sultan Haji menandatangani surat perjanjian, di mana VOC mendapatkan hak monopoli perdagangan lada. Sejak itu Belanda secara yuridis mempunyai perdagangan lada di Lampung. Sampai akhirnya Banten kehilangan kekuasaan di Lampung. Hingga tahun 1799 VOC bangkrut dan diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
Di bawah kekuasaan Hindia Belanda, Lampung masih tetap sebagai produsen lada hitam terbesar di Indonesia, bahkan terbesar di dunia. Tahun 1910-1930, ekspor lada Pemerintah Hindia Belanda ke pasar dunia rata-rata 25.000 ton per tahun atau menguasai lebih dari separuh kebutuhan dunia. Satu dekade kemudian, ekspor lada menguasai 80 persen kebutuhan dunia. Sebagian besar produksi lada Hindia Belanda disumbang dari Lampung dan Bangka.
[kompas-image-360 src=”https://d33qo677evbora.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/138/2017/07/Kebun-Lada-di-Desa-Sukadana-Baru-Kec-Marga-Tiga-Kab-Lampung-Timur.jpg” caption=”Kebun lada di desa Sukadana Baru.” credit=”KOMPAS/Luhur Arsiyanto Putra” /]
Pada masa kolonial itu, lada banyak ditanam di Tulangbawang, Sekampung, dan Seputih serta pesisir barat Lampung, seperti di Krui dan Manna. Kemudian berkembang di Lampung Utara di sekitar Ranau dan Liwa, Lampung Timur, di sekitar Sukadana yang selanjutnya menjadi sentra lada di provinsi itu. Dua kabupaten itu menyumbang hampir separuh produksi lada di provinsi tersebut.
Dalam perkembangannya sentra produksi lada hitam Lampung yang dulu banyak tersebar di Lampung Timur dan Lampung Utara itu kini sudah berekspansi ke Tanggamus, Way Kanan, dan Lampung Barat. Bahkan, Lampung Barat kini tercatat sebagai penghasil lada terbesar kedua setelah Lampung Utara.
Produksi turun
Dalam tiga tahun terakhir luas areal lada di Lampung menurun. Tahun 2013, luas lahan tercatat 62.000 hektar dan mampu menghasilkan 24.600 ton lada hitam. Dua tahun kemudian, luas lahan menyusut menjadi 45.000 hektar dengan produksi sebesar 14.800 ton atau turun hampir 10.000 ton dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Penyusutan lahan terbesar terjadi di Lampung Utara. Dalam kurun tiga tahun terakhir, areal perkebunan lada berkurang 12.000 hektar. Penyusutan itu terbilang cukup besar, terlebih itu baru dari satu kabupaten sentra lada. Alhasil, produksi lada Provinsi Lampung pun merosot.
Menurut data Dinas Peternakan dan Perkebunan Provinsi Lampung, luas tanaman lada di Lampung pada 2016 mencapai 46.054 ha dengan produksi 14.854 ton per tahun dan melibatkan 63.675 kepala keluarga petani. Angka produksi itu hanya sekitar seperempat dibandingkan produksi masa kejayaan lada lampung tahun 1970-an yang mencapai 50.000 ton per tahun.
Selain penyusutan areal perkebunan, turunnya produksi lada di Lampung disebabkan produktivitas yang rendah dibandingkan produktivitas negara produsen lainnya, seperti Vietnam dan Malaysia. Produktivitas lada di Lampung hanya sekitar 530 kg per hektar, padahal Vietnam mencapai 2.200 kg per hektar dan Malaysia 1300 kg/ha.
Rendahnya produktivitas lada disebabkan oleh penyakit klasik yang hingga kini belum bisa diatasi di tingkat petani, seperti penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici, penyakit akibat hama penggerek batang, kuning, dan adanya perubahan iklim (global warming).
Meskipun produksi berkurang, ekspor lada hitam asal daerah ini masih terus berlangsung. Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) Lampung mencatat, pada 2016 ekspor lada hitam lampung mencapai 36.000 ton, meningkat dibanding ekspor tahun sebelumnya sebesar 29.947 ton. Amerika Serikat tercatat sebagai negara tujuan utama ekspor lada lampung, yakni mencapai 60-70 persen nilai total ekspor lada lampung per tahun. Berikutnya Singapura, Jepang, Eropa, dan Asutralia.
Langkah pemerintah
Melihat pospek harga lada masih cukup baik, Pemerintah Provinsi Lampung pun melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan pamor lada hitam lampung. Sejumlah langkah dilakukan antara lain dengan mengintensifkan budidaya tanaman lada seluas 850 hektar pada 2016 sampai 2017.
Selain itu, Pemprov Lampung juga mengusulkan agar tanaman lada yang sudah tidak produktif karena penyakit busuk pangkal batang direhabilitasi, diganti dengan bibit unggul yang tahan penyakit busuk pangkal batang dan dibantu pupuk organik. Rehabilitasi itu difokuskan pada tiga sentra lada besar Lampung, yakni Lampung Timur, Lampung Utara, dan Way Kanan, masing-masing 200 hektar.
Pembenahan budidaya lada juga dilakukan untuk meningkatkan produktivitas komoditas unggulan Lampung itu dengan cara mengintensifkan penanaman lada per hektar. Salah satu penyebab turunnya produksi lada hitam lampung karena jumlah tanaman saat ini rata-rata hanya 400 batang per hektar, yang semestinya sekitar 1.500 batang per hektar.
Beberapa program lainnya yang dilakukan Pemprov Lampung untuk mengembalikan kejayaan lada lampung adalah dengan menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi, badan penelitian, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk menyusun model usaha budidaya lada yang baik. Selain itu, tenaga penyuluh pendamping petani juga diperbanyak guna memberikan pengetahuan kepada petani tentang cara budidaya lada yang baik.
Upaya mengembalikan pamor lada hitam lampung juga dilakukan ke para pelajar, mahasiswa, dan anggota PKK. Pemprov Lampung memberikan bantuan bibit lada perdu untuk ditanam di sekolah, kampus, dan di pekarangan. Lada itu cocok ditanam di halaman atau pekarangan karena tidak perlu tiang panjat atau tiang rambatan.
Upaya yang inovatif itu bisa mengenalkan, melestarikan, dan mengembangkan lada ke masyarakat, sekolah, dan kampus sehingga pamor lada di dunia internasional bisa dipertahankan dan lagu ”Tanoh Lado” tetap menjadi kebanggaan masyarakat Lampung. (MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS)