Tahun 2015 adalah tahun berkah bagi petani lada di Desa Way Wangi Seminung, Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan. Dari hasil panen lada, mereka bisa membeli tanah, membangun rumah, dan membeli kendaraan.

Keputusan petani di Desa Way Wangi Seminung untuk fokus menanam lada sejak 1997 tidak sia-sia. Seiring dengan berjalannya waktu, harga lada yang awalnya begitu rendah lambat laun terus meningkat.

Tahun 2015, harga lada hitam, lada yang dipanen lalu langsung dijemur sampai mengering, mengalami kenaikan fantastis, hingga mencapai Rp 125.000 per kilogram. Lonjakan harga ini turut dirasakan  petani lada di Desa Way Wangi Seminung.

Haji Musoffa (63) adalah satu di antara warga Way Wangi Seminung yang beruntung. Dari kebun ladanya seluas 3 hektar, Musoffa bisa memanen 2 ton lada hitam yang harganya mencapai Rp 250 juta. Benar-benar hasil panen yang luar biasa!

”Begitu panen, saya langsung membeli tanah seluas 1 hektar. Harganya Rp 120 juta,” ujar Musoffa beberapa waktu lalu di Ogan Komering Ulu Selatan.

Selain membeli tanah, dengan uang hasil panen ditambah sedikit uang tabungan, Musoffa juga membeli mobil baru secara tunai. Hanya dengan sekali panen, ia bisa membeli 1 hektar lahan pertanian dan satu mobil baru.

[kompas-image-360 src=”https://d33qo677evbora.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/138/2017/07/Foto_6-Danau-Ranau.jpg” credit=”KOMPAS/Dimas Tri Adiyanto” /]

Membangun rumah baru

Sutomo (56), Ketua Kelompok Tani Mekar Sari di Desa Way Wangi Seminung, juga merasakan berkah serupa. Hasil panen ladanya dua tahun lalu mencapai Rp 200 juta. Sebagian dari uang itu langsung ia gunakan untuk membangun rumah baru bagi anaknya di Baturaja, Ogan Komering Ulu.

Sutomo yang merupakan perantau asal Jawa mulai menanam lada di daerah itu sejak 1996. ”Awalnya saya hanya menjadi buruh tani warga setempat. Sembari bercocok tanam lada, perlahan-lahan saya bisa menabung dan setelah 11 tahun saya bisa membeli tanah seluas 4 hektar,” katanya.

Karena begitu lakunya lada, masyarakat setempat kadang harus berhati-hati saat menjual lada. Transaksi jual beli biasanya tidak dengan uang tunai, tetapi dilakukan di bank dan langsung dimasukkan ke rekening.

”Beberapa waktu lalu ada kawan petani yang kena tipu. Dia bertransaksi dengan penjual di rumahnya dan setelah penjual pergi, uang yang diterimanya ternyata uang palsu. Dia sedih sekali karena sudah telanjur mendaftarkan diri naik haji,” tutur Musoffa.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/b5e7dad0-aa7b-43bb-9ff9-872006de6740/kvms_13274_20170711_jejak_rempah_eps_lada_ranau.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’Lada sempat menjadi salah satu komoditas unggul di Sumatera Selatan sejak masa Sriwijaya. Puncaknya terjadi pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Namun, karena persaingan dengan komoditas lain yang dinilai lebih ekonomis, lambat laun lada ditinggalkan petani. Kendati demikian, ada sebagian petani yang mempertahankannya sebagai tumpuan ekonomi, seperti di sekitar Danau Ranau, Ogan Komering Ulu Selatan.’ credit=’Kompas Newspaper’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/07/13274_p.png?v=50′ /]

Untuk mengantisipasi penipuan, petani lada memilih bertransaksi dengan penjual di bank tidak dengan uang tunai. Begitu sepakat, uang pembayaran langsung dimasukkan ke rekening petani sehingga aman.

Kisah sukses bercocok tanam lada juga dialami Haji Ali Akbar (64), warga Desa Surabaya, Banding Agung, Ogan Komering Ulu Selatan. Tahun 2015, hasil panen ladanya mencapai Rp 260 juta.

Ali yang menanam lada sejak 2000 berkali-kali mengalami harga lada yang jatuh bangun. Meski demikian, karena konsistensinya menanam lada, ia  bisa menikmati masa-masa ”keemasan” harga lada. Dari hasil bercocok tanam lada, Ali bisa membeli tanah, satu kali menunaikan ibadah haji, dan empat kali umrah ke Tanah Suci. (ALOYSIUS B KURNIAWAN)