Saat menyusuri Jalan Sudirman, Pangkal Pinang, mata tiba-tiba tertuju pada sebuah bangunan arsitektur China di kanan jalan. Rumah besar dengan cat hijau itu tampil beda dibandingkan dengan gedung-gedung lain. Itulah rumah kapitan yang dibangun Lay Fung Yue pada 1860. Sekarang, rumah kapitan itu diberi nama baru oleh generasi kelima keluarga Lay, menjadi Latrasee Bistro atau House of Lay.

Lay Fung Yue merupakan generasi pertama keluarga Lay yang datang ke Bangka pada 1830. Generasi kedua keluarga Lay, yaitu Lay Nam Sen, ditunjuk oleh Belanda menjadi seorang kapitan. Dengan jabatan tersebut, Lay Nam Sen diberi kepercayaan oleh Belanda untuk bekerja sama dalam pengaturan ekonomi.

”Seorang kapitan merupakan penguasa ekonomi pada zamannya. Salah satu tugasnya adalah mengambil hasil panen lada dari masyarakat dan menyerahkan ke Belanda,” kata Hongky Listiadi atau Lie San Hong yang merupakan keturunan kelima keluarga Lay, Maret lalu.

Hasil panen lada

Menurut catatan Belanda pada tahun 1890-an, data ekspor lada Bangka saat itu sangat tinggi. Bersamaan dengan masa panen besar itu, keluarga Lay merenovasi rumahnya pada 1983. Setahun kemudian, keluarga Lay juga merenovasi makam para leluhurnya.

”Seperti tradisi China pada umumnya, pada saat perekonomian keluarga membaik, keluarga biasanya memperbaiki makam leluhurnya sebaik-baiknya. Waktu itu, keluarga saya membangun rumah dan memperbaiki makam dari hasil penjualan lada ke Singapura,” ujar Hongky.

[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/5a5bfe2d-28d0-4bde-b03e-75b7e32a6034/kvms_13279_20170711_jejak_rempah_eps_rumah_kapitan.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’danial.ak’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/07/13279_p.png?v=38′ /]

Masa keemasan penjualan lada Bangka berkisar antara 1880 dan 1920. Lada-lada itu diangkut menggunakan kapal-kapal lewat sungai-sungai kecil menuju lepas pantai.

Sekitar 5 meter di ujung pagar rumah Hongky terdapat Sungai Rangkui. Di sanalah terdapat sebuah pelabuhan kecil tempat jual beli lada.

Sisa artefak

Hingga saat ini, Hongky masih menyimpan beberapa artefak perlengkapan panen lada. Di rumahnya, ia masih menyimpan sebuah kereta angkut kecil yang terbuat dari kayu, satu timbangan kuno hitam berbahan kayu ulin, serta tiga nampan kayu besar.

”Timbangan ini jelas tidak akan kuat jika digunakan untuk menimbang timah karena timah jauh lebih berat dibanding lada. Kami yakin, ini adalah timbangan yang digunakan untuk menimbang lada oleh leluhur kami,” ucapnya.

Dugaan Hongky beralasan. Timbangan serupa dengan ukuran lebih kecil juga ditemui Tim Ekspedisi Jalur Rempah Kompas di Museum Lampung, April lalu.

Sampai sekarang, pernak-pernik peninggalan leluhur keluarga Lay masih disimpan dengan baik oleh para penerusnya. Tahun 2014 hingga 2016, rumah kapitan tersebut direnovasi ulang dengan menghabiskan dana hingga miliaran rupiah. Bangunan utama arsitektur China itu tetap dipertahankan, sementara pada sisi belakangnya dibangun sebuah hotel.

Jabatan tituler

Sejarawan sekaligus Kepala Dinas kebudayaan Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Pangkal Pinang Akhmad Alfian menjelaskan, kapitan merupakan semacam jabatan titular yang diberikan Pemerintah Belanda kepada tokoh China tertentu untuk mengatur orang-orang China yang dulu didatangkan Belanda ke Bangka dari China.

Orang-orang China yang didatangkan Belanda pada tahun 1800-an masih terikat kontrak. Mereka didatangkan untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan. Mereka yang masih terikat kontrak disebut singkeh, sedangkan yang sudah terbebas kontrak disebut laukeh. Untuk mengatur orang-orang China tersebut, ditunjuklah seorang kapitan. (ABK)