Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, Kepulauan Banda, Maluku, telah menjadi magnet yang menarik kedatangan banyak bangsa dari kawasan yang membentang antara negeri China di utara hingga jazirah Arab di barat. Seolah tersihir wangi pala (Myristica fragrans), pedagang asing itu rela menempuh ribuan kilometer perjalanan berbahaya mengarungi ganasnya lautan yang mengepung kepulauan tersebut.
Hingga pertengahan abad ke-18, ke-11 pulau vulkanis Banda adalah satu-satunya penghasil tanaman tersebut di muka bumi. Biji dan bunga pala diburu karena khasiatnya untuk pengobatan, bumbu makanan, hingga wewangian.
Belum diketahui secara pasti sejak kapan pala mulai diperdagangkan dari Banda. Robin A Donkin dalam East and West: The Moluccas and the Traffic in Spices up to the Arrival of the Europeans (2003) menuliskan, pala berasal dari kata phala dalam bahasa Sanskerta yang berarti buah (dari pohon), daging, atau biji buah. Jika dilacak lebih jauh lagi, kata itu merupakan pinjaman dari bahasa Tamil, param.
Donkin juga menyinggung, salah satu penyebutan paling awal tentang pala terdapat dalam Caraka Samhita, teks berbahasa Sanskerta tentang Ayurveda (metode pengobatan tradisional India) yang ditulis pada tak kurang dari abad pertama Masehi. Teks itu menyebutkan jatiphala (pala) dan lavanga (cengkeh), bersama daun sirih yang diaromai kamper, dapat ”disimpan di mulut… untuk mengharumkan napas”.
Berpegang pada informasi yang dikemukakan Donkin tersebut, maka perdagangan pala dari Banda, terutama ke India, diduga telah berlangsung setidaknya sejak abad pertama Masehi. Dari jaringan perdagangan awal itulah kemungkinan pala menyebar ke seluruh dunia.
Karena manfaat dan kelangkaannya, pala menjadi salah satu rempah termahal di dunia. Harganya secara otomatis berlipat, bergantung jumlah perpindahan tangan perantara dan jauhnya jarak yang ditempuh komoditas itu ke berbagai penjuru dunia.
Harga pala makin melambung saat rempah itu diyakini mampu menangkal wabah ”Kematian Hitam” yang melanda Eropa pada abad ke-13. Sebuah catatan Jerman dari abad ke-14 menyebutkan, harga 0,5 kilogram pala setara dengan tujuh lembu jantan gemuk!
Tak mengherankan jika bangsa-bangsa Eropa berlomba-lomba memburu sumber pala, informasi yang selama ratusan tahun ditutup rapat oleh pedagang-pedagang perantara yang menjadi penyuplai utama komoditas itu ke Eropa melalui Konstantinopel dan Venesia.
Saat Eropa memasuki zaman Renaisans pada abad ke-15, dorongan eksplorasi untuk menemukan sumber rempah-rempah, termasuk pala, tak terbendung. Kekuatan-kekuatan maritim, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda, pun mulai mendatangi sumber rempah di Asia, termasuk Banda.
Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) akhirnya keluar sebagai pemenang perburuan pala. Pada 1621, mereka secara de facto menguasai seluruh Kepulauan Banda dengan cara keji, yakni membantai pemimpin dan ribuan rakyat Banda.
Prasasti untuk mengenang peristiwa itu didirikan di Naira, pulau utama di Banda. Bangunan yang disebut Taman Monumen Parigirante itu memuat 40 nama orang kaya (pemimpin) dan tokoh masyarakat Banda kala itu yang dibunuh VOC pimpinan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen. Para korban dibunuh dengan cara tubuh dipotong empat bagian dan dipenggal lehernya oleh serdadu bayaran dari Jepang.
Setelah pembinasaan itu, Belanda menyulap Banda menjadi blok-blok perkebunan pala atau yang disebut perk yang kemudian diserahkan kepada pendatang-pendatang Eropa untuk dikelola. Orang-orang Eropa itu kemudian dikenal sebagai perkenier. Sisa perkebunan kini masih bisa terlihat di Pulau Banda Besar.
Pongky van den Broeke (61) adalah satu-satunya generasi perkenier yang tersisa di Kepulauan Banda. Kami menemuinya di rumah sekaligus lokasi perkebunannya di Pulau Banda Besar, April lalu.
Pongky, generasi ke-13 dari trah Van den Broeke, mewarisi 12,5 hektar dari awalnya total 60 hektar perk di Banda Besar dan Pulau Ai yang dikuasai keluarganya sejak 1612. Adapun sisanya diambil alih oleh negara sejak kemerdekaan Indonesia.
Di perkebunan Pongky, dari lebih kurang 4.000 pohon pala, sekitar 35 persennya merupakan warisan zaman Belanda. ”Bahkan, ada pohon pala yang telah berusia 250 tahun,” ujarnya. Selain pala, perkebunan juga dirimbuni pohon-pohon kenari besar yang ditanam Belanda sebagai peneduh pohon pala.
Bangunan utama rumah dan bangunan-bangunan tempat tinggal pekerja pala perkebunan Pongky dari zaman Belanda hanya tersisa reruntuhannya karena menjadi korban konflik yang melanda Maluku pada 1999. Dalam peristiwa kelam itu, Pongky juga kehilangan lima anggota keluarganya.
Satu-satunya bangunan perkebunan era kolonial yang masih bertahan adalah rumah pengasapan yang terletak di belakang rumah utama. Bangunan selebar sekitar 4 meter dan panjang 30 meter yang didirikan tahun 1728 itu hingga sekarang masih dipakai untuk proses pengeringan biji pala dengan cara diasapi.
Nasib Banda
Lewat pala, Banda telah memanggungkan Nusantara ke seluruh penjuru dunia hingga membesarkan sejumlah kota di Eropa dan Asia Barat. Namun, setelah berabad-abad pala menghidupi dunia, warga Banda kini masih berkutat dengan sejumlah kebutuhan dasar.
Camat Banda Kadir Sarilan menuturkan, hingga kini ia masih sering mengantar orang sakit dan ibu hamil yang memerlukan operasi caesar ke rumah sakit, baik di Pulau Ambon maupun Pulau Seram, menggunakan perahu cepat dari Naira. Hal itu disebabkan ketiadaan dokter dan juga minimnya fasilitas kesehatan. Banda hanya memiliki rumah sakit umum daerah tipe D tanpa dokter spesialis.
Rumah sakit itu menjadi tumpuan bagi sekitar 21.000 jiwa warga yang tinggal menyebar di tujuh pulau berpenghuni, yakni Naira, Banda Besar, Gunungapi, Hatta, Ai, Sjahrir, dan Run. ”Saat musim timur (gelombang tinggi yang biasa terjadi pada Mei-Agustus), kami hanya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Semoga warga sehat-sehat semua,” katanya.
Namun, tak jarang perjalanan mengantar pasien ke Ambon atau Seram itu harus dilakukan ketika gelombang tinggi. Dua tempat tujuan itu tak jauh berbeda jaraknya dari Naira, yakni 231 kilometer. Itu belum termasuk perjalanan jika pasien berasal dari pulau di luar Naira.
Pulau yang terjauh dari Naira adalah Run yang berjarak 31,4 kilometer. Sebelum dibawa ke Ambon atau Seram, pasien wajib mengantongi surat rujukan dari RSUD Banda.
Perahu cepat milik kecamatan itu menjadi andalan sebab kapal reguler tidak beroperasi setiap hari. Ada dua kapal Pelni dengan rute Naira-Ambon, tetapi jadwal singgahnya hanya dua kali dalam sebulan. Itu pun waktu tempuhnya 8-9 jam.
Adapun kapal cepat Naira-Ambon beroperasi dua kali seminggu dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Namun, kapal itu baru beroperasi jika penumpang memenuhi jumlah minimal 30 orang dan kondisi cuaca baik.
Sisi lain adalah pala yang dahulu harganya menyaingi emas kini berada dalam kendali tengkulak setempat. Petani pala tunduk di bawah permainan tengkulak. Harga pala pada April lalu Rp 75.000 per kilogram untuk kualitas super, sedangkan kualitas di bawah itu dihargai paling murah Rp 35.000 per kilogram. Harga diperkirakan cederung menurun jika kondisi politik dan hukum dalam negeri memberi efek negatif terhadap dunia usaha.
Rencana KEK
Keprihatian terhadap kondisi Banda yang menjadi ikon Maluku berulang kali keluar dari mulut pejabat di Maluku, tetapi itu tidak seiring dengan apa yang sudah mereka lakukan. Setidaknya potret kesehatan dan ekonomi masyarakat menjadi gambaran Banda saat ini.
[kompas-image-360 src=”https://d33qo677evbora.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/138/2017/07/kepulauanBanda.jpg” caption=”Kepulauan Banda dilihat dari atas perahu motor.” credit=”KOMPAS/Pandu Lazuardy P” /]
Wacana tentang memoles Banda kembali digulirkan Pemerintah Provinsi Maluku. Lewat sejumlah media, termasuk media sosial, pemerintah menyatakan Banda sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) yang saat ini dalam tahap penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan.
Kepala Bagian Humas Pemprov Maluku Bobby Palapia mengatakan, fokus utama KEK Banda adalah pariwisata. ”Kenapa pariwisata? Karena pariwisata Banda berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Banda menawarkan pesona alam dan juga sejarah,” katanya.
Wacana KEK Banda sebetulnya pernah didengungkan pada 2013, tetapi menghilang. (FRANSISKUS PATI HERIN/MOHAMAD FINAL DAENG/ALOYSIUS B KURNIAWAN)