Seorang teman yang baik memang sangat berarti, tetapi keluarga adalah segalanya! Clay Paays (55), warga Belanda keturunan Indonesia, merefleksikan kisah petualangannya menelusuri jejak leluhur di Banda, April lalu.
Bersama saudaranya, Ray Paays (60), ia melanglang buana ribuan kilometer dari Belanda ke Indonesia untuk mencari tahu di mana leluhurnya lahir, hidup, dan dikebumikan.
Berbekal sebuah dokumen sejarah dari Pemerintah Belanda, Clay dan Ray datang ke Jakarta pada 15 April 2017. Mereka langsung menuju Ereveld Menteng Pulo, sebuah kompleks pemakaman bagi 4.300-an warga negara Belanda yang tewas selama perang kemerdekaan Indonesia.
Di makam tersebut, mereka menemukan sebuah papan besar dengan tulisan Verzamelgraf Koeningan yang artinya kuburan massal Kuningan. Di papan itu berjajar 12 nama warga Belanda yang tewas 15 Oktober 1945 di Kuningan, Jawa Barat. Pada deretan terakhir tertulis nama KWA (Karel Willem Alexander) Paays yang tak lain adalah kakek Clay dan Ray.
Karel lahir di Banda, 21 Januari 1885, dari perkawinan campur Belanda-Maluku. Di Banda, tepatnya di Pulau Naira, dia sempat bekerja sebagai pegawai pos sebelum akhirnya menjadi petugas pajak ketika pindah tugas ke Jawa pada 1923.
Dari sebuah foto hitam putih yang ditunjukkan Clay, terlihat bagaimana darah Maluku mengalir deras di tubuh kakek Clay dan Ray yang berkulit hitam. Karakter fisik Maluku juga turun pada August Paays, ayah Clay dan Ray, serta anak-anak mereka yang cenderung berkulit hitam dengan tinggi badan seukuran orang Asia, lebih pendek dari perawakan orang Eropa pada umumnya.
Maluku, terutama Banda, sangat mengesan di hati Clay dan Ray. Mereka yakin di sanalah leluhur keluarga Paays pernah tinggal, mulai dari kakek, kakek buyut, dan seterusnya.
Begitu berlabuh di Pulau Naira, Banda, hati mereka dilingkupi kegembiraan yang tak tergambarkan. ”Sulit dipercaya, kami akhirnya menyusuri jalananan yang dulu dilalui leluhur kami. Banda selalu memiliki tempat spesial di hati kami,” kata Clay.
Di sana, Paays bersaudara coba menelusuri jejak kakek buyut mereka, Albert Frederic Paays, yang sempat tinggal di Pulau Naira hingga 1906. Namun, sampai hari ke-17, Clay dan Ray belum juga menemukan tempat di mana kakek buyut mereka lahir dan dimakamkan.
”Meski kami tak menemukan di mana makam kakek buyut kami, kami tetap senang karena bisa datang ke tanah di mana mereka pernah tinggal. Tiga tahun lalu, aku juga sempat berkunjung ke Cirebon, tempat aku dulu dilahirkan, juga ke Jayapura tempat keluarga kami terakhir tinggal sebelum pindah ke Belanda,” ujar Ray.
Kepulauan pluralis
Perdagangan pala yang berlangsung selama berabad-abad menjadikan Kepulauan Banda sebagai daerah pertemuan lintas negara, etnis, dan suku. Kedatangan leluhur Paays tidak lepas dari upaya Belanda memonopoli perdagangan pala di pasar dunia.
Jauh sebelum era kolonial Belanda, Banda bahkan telah berkembang menjadi daerah metropolis yang sangat pluralis. Rachel de Vries, seorang warga negara Belanda, sampai menyebut Banda sebagai tanah airnya. Ayah Rachel yang lahir di Banda merupakan putra kedua seorang perkenier (pemilik perkebunan pala) Herman de Fries, pemilik perkebunan pala Combir dan Raning di Pulau Banda Besar.
Keluarga De Vries pertama kali tiba di Banda pada 1840. Untuk mengenang jejak-jejak leluhurnya, Rachel berulang kali datang ke Banda, mulai dari 1994, 2012, dan 2014. Bulan Oktober tahun ini, ia akan datang lagi ke Banda.
Sisa-sisa keturunan Belanda di Banda masih bisa ditemukan hingga sekarang. Pongky van den Broeke, pemilik perkebunan pala di Pulau Banda Besar, merupakan keturunan ke-13 seorang perkenier asal Belanda, Peter van den Broeke, yang datang ke Banda pada 1612.
”Mulai dari generasi ketiga Van den Broeke, sudah terjadi perkawinan campur di keluarga kami. Keluarga kami merupakan campuran dari darah Belanda, Jawa, Arab, dan penduduk asli Banda,” ungkap Pongky.
Dulu begitu habis panen pala, keluarga besar Van den Broeke selalu menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk selama seminggu penuh. ”Saya masih sempat melihat ada dua kotak wayang dan seperangkat gamelan di gudang dekat tempat pengasapan pala,” ujarnya.
La Aci, warga Pulau Run, Kepulauan Banda, juga merupakan keturunan dari pendatang. Kakeknya bernama La Oro berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara, sedangkan neneknya, Zaenab, asli Semarang, Jawa Tengah. Mereka didatangkan Belanda ke Pulau Run untuk bekerja di perkebunan pala.
Sejarawan Universitas Pattimura, Ambon, asal Banda, Usman Thalib, menjelaskan, sebelum era kolonial, masyarakat Banda sudah menjalin hubungan dengan orang-orang dari luar pulau, mulai dari Jawa, Melayu, China, India, Persia, hingga Arab. ”Sejak dahulu masyarakat Banda sudah sangat pluralis,” ujarnya beberapa waktu lalu di Ambon.
Selain didatangi banyak pelaut dari luar pulau, masyarakat Banda juga sudah terbiasa berlayar ke daerah lain dengan armada perahu layar. Sebagai contoh, ketika Portugis tiba di Malaka pada 1511, mereka sudah menemukan perkampungan orang Banda di sana selain perkampungan orang Jawa, Palembang, dan Maluku.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, kata Usman, Banda telah tumbuh berkembang menjadi ”Indonesia mini”. Di sanalah proses integrasi masyarakat sudah selesai. Di Banda, pluralisme telah menjadi identitas.
Eksistensi pluralisme di Banda sempat mendapat cobaan berat pada 1999 ketika kerusuhan Ambon meluas hingga ke Banda. Masyarakat Banda yang sejak awal sudah beragam dari sisi etnis, suku, dan agama akhirnya harus turut tercabik-cabik oleh isu suku, ras, agama, dan antargolongan.
Peristiwa kelam itu menjadi catatan penting bagi masyarakat Banda, bagaimana keragaman yang ada harus tetap dijaga. Proses integrasi masyarakat Banda yang berlangsung selama berabad-abad itu tentu tidak terlepas dari komoditas utama mereka yang sampai sekarang masih tetap menjadi andalan, yaitu pala. (ALOYSIUS B KURNIAWAN/MOHAMAD FINAL DAENG/FRANSISKUS PATI HERIN)