”Goyang pohon, ringgit gugur”. Hanya dengan menggoyang pohon-pohon pala, uang pun berguguran. Istilah ini menggambarkan begitu makmurnya petani pala di Banda sekitar abad ke-16.
Meski masa kejayaan rempah telah lewat, optimisme bercocok tanam rempah masih bisa ditemukan di sejumlah daerah. Mereka yang tekun dan kreatif mencari terobosan-terobosan barulah yang bisa bertahan dan bahkan hidup sejahtera karena rempah.
Lukito (59), perantau asal Brebes, Jawa Tengah, awalnya tidak punya apa-apa ketika ia menyabung hidup di Lampung Timur pada 1965 silam. Di perantauan, ia harus bekerja keras membuka lahan perkebunan baru milik warga setempat.
Kegigihannya membanting tulang tidak sia-sia. Dengan sistem bagi hasil, penggarap lahan seperti Lukito waktu itu bisa mendapatkan jatah separuh hasil panen dan tanah.
Memasuki tahun 1980, Lukito memberanikan diri menyewa lahan tambahan seluas setengah hektar untuk ditanami lada. Dari hasil panen lada, ia kemudian membeli tanah lagi, dan begitu seterusnya. Sampai saat ini, total luas lahan perkebunan milik Lukito mencapai 6 hektar dan hampir seluruhnya ditanami lada.
”Sampai sekarang saya masih tetap berkebun. Ini hobi saya yang menyenangkan. Kami merasa semacam ada ikatan batin dengan lada-lada kami. Kalau tidak ke kebun, rasanya ada yang kurang. Karena itu, kami sering tengok lada di kebun, pagi, siang, ataupun sore,” ujar petani lada yang telah dua kali menunaikan ibadah haji itu, awal Mei lalu.
Di Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Ali Akbar (64), petani setempat, juga bisa berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji pada 2006, empat kali berangkat umrah, dan membeli mobil baru seharga Rp 285 juta secara tunai dua tahun lalu. Meski baru menanam lada sejak tahun 2000, Ali langsung melejit sukses sebagai petani lada.
Sama halnya dengan Ali, Musoffa (63), petani lada di pinggir Danau Ranau, Desa Way Wangi, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, OKU Selatan, mengatakan tidak sia-sia menanam lada sejak 1997. Kesetiaannya bercocok tanam lada menjadikannya ikut menikmati momen lonjakan harga lada pada 2015.
”Dari lahan saya seluas 3 hektar, dua tahun lalu saya bisa panen lada hingga 2 ton seharga Rp 250 juta. Dari hasil panenan itu, saya langsung beli tanah lagi seluas 1 hektar yang harganya Rp 120 juta,” papar Musoffa.
Karena menanam lada pula, ia bisa membiayai sekolah anaknya hingga lulus kuliah. Sekarang, anaknya telah menjadi pegawai negeri sipil, sebagai petugas penyuluh lapangan di desanya.
Tetap menjanjikan
Pongky van den Broeke (61), perkenier atau pemilik perkebunan pala di Pulau Banda Besar, merupakan generasi ke-13 dari Peter van den Broeke, perkenier asal Belanda yang datang ke Banda pada 1612. Luas perkebunan keluarga Van den Broeke memang telah berkurang drastis dari 140 hektar di Pulau Ai dan Banda Besar kini tersisa 12,5 hektar di Pulau Banda Besar saja. Meski demikian, hasil bumi pala tetap menjadi andalan utama keluarga besar Pongky.
”Ini adalah pohon yang paling menjanjikan. Tidak ada yang tertinggal dari pala. Semuanya bisa diproses lebih lanjut menjadi barang kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Pongky membayar 12 karyawan untuk menangani kebun palanya. Jika petani-petani pala lainnya hanya menjual fuli dan biji pala semata, Pongky terus-menerus berinovasi mencari nilai tambah pala, mulai dari membuat jus pala, selai pala, manisan pala, dodol pala, hingga minyak atsiri pala yang harganya mencapai Rp 600.000 per liter.
Tak berhenti di situ, Pongky juga membuat pembibitan pala sendiri. Ratusan ribu bibit pala hasil tangkarannya kini sudah dijual ke seluruh Indonesia.
Masih banyak lagi kesaksian dari petani rempah di beberapa daerah yang terungkap dalam perjalanan Tim Ekspedisi Jalur Rempah sejak 7 Maret hingga 6 Juni 2017. Kisah perjuangan mereka menunjukkan optimisme bahwa masa depan rempah Nusantara masih sangat cerah.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/a5d89d40-e81a-4228-8c20-e73e0eb3a9ad/kvms_23691_20170807_nnn_distribusi.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’nius.sunardi’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/08/23691_p.png?v=25′ /]
Kisah-kisah perjuangan petani rempah dengan segala jatuh bangun serta puncak-puncak pencapaiannya perlu terus-menerus diwartakan. Harapannya, petani-petani lain bisa mencecap pembelajaran dan pemangku kepentingan bisa turut mendorong sesuai dengan wewenang dan kebijakan mereka. (ALOYSIUS B KURNIAWAN/MUKHAMAD KURNIAWAN)