Jarum zaman telah berubah. Banda yang dahulu ditimang-timang dan diperebutkan negara-negara Eropa kini telah berubah menjadi kepulauan terpencil yang menyendiri sepi di pelosok Maluku Tengah. Namun, putaran waktu tak membuat orang-orang Banda menyerah.
April lalu, Tim Ekspedisi Jalur Rempah Kompas bertemu dengan sosok-sosok ”pejuang” Banda yang terus-menerus berkreasi menggeliatkan perekonomian kepulauan penghasil pala itu. Mulai dari Mita Alwi, cucu almarhum Des Alwi yang kini mengelola hotel legendaris kakeknya; Sumarni, buruh penyeleksi biji pala di Pulau Naira; dan Lukman Ang, pemandu wisata lokal yang memahami seluk-beluk sejarah Banda.
Di Naira telah muncul pula pengusaha-pengusaha lokal yang berwawasan global, seperti Rizal Bahalwan yang mendirikan hotel berkonsep sejarah rempah tepat di antara Benteng Nassau dan Belgica. Juga Reza Tuasikal, pegiat selam serta pengelola hotel yang memiliki jaringan luas di dalam dan luar negeri.
Dari Naira, tim berlayar menuju Pulau Banda Besar. Di sana, kami bertemu dengan Pongky van den Broeke, perkenier (pemilik kebun pala) terakhir di Banda Besar yang selalu mencari peluang-peluang baru dalam budidaya pala.
Kisah kelam merembetnya kerusuhan Ambon hingga ke Banda pada 1999 telah merenggut lima anggota keluarga Pongky. Namun, tragedi itu tak membuatnya dendam terhadap Banda. Keturunan ke-13 seorang perkenier asal Belanda, Peter van den Broeke, itu bangkit dan menata kembali perkebunan pala peninggalan keluarganya.
Di Banda Besar pula tim bertemu dengan Effendi, seorang petani pala yang setia menjelaskan seluk-beluk pala kepada setiap wisatawan yang mengunjungi kebun-kebun pala di Banda Besar. Perlahan-lahan dengan segala keterbatasannya, Banda telah melahirkan ”pejuang-pejuang” baru yang diharapkan bisa mengembalikan lagi sejarah keemasannya dahulu kala. (ALOYSIUS B KURNIAWAN/MOHAMAD FINAL DAENG/FRANSISKUS PATI HERIN)