Semilir angin berembus menemani perjalanan. Rimbun daun pepohonan menaungi dari teriknya matahari. Sesekali dari sela-sela pepohonan, laut lepas terlihat, memanjakan mata. Beban akibat perjalanan yang terus menanjak di punggung Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara, menjadi terasa ringan.
Ringan langkah kaki bergerak sekalipun jalanan tanah yang dilewati tak selamanya mudah dilintasi. Terkadang licin, terjal, kerap kali menyempit akibat semak belukar yang menutup jalan, bahkan harus menyeberang sungai sempit yang terjal.
Jalan yang dilintasi ini adalah jalan para pendaki yang hendak ke puncak Gamalama. Jalan ini pula yang biasa digunakan petani saat hendak ke kebunnya di punggung Gamalama.
Maka, saat masa panen tiba, suasananya riuh, tidak sepi seperti saat Kompas melintasinya, awal Mei 2017 lalu. Jalanan akan ramai oleh petani yang menggotong hasil kebun di punggung mereka. Suasana di punggung Gamalama pun menjadi ramai oleh obrolan dan senda gurau petani yang sedang memanen hasil kebun.
”Suasananya sudah seperti pasar kalau tiba masa panen, apalagi waktu panen cengkeh,” ujar Hamadal (65), salah seorang petani pemilik pohon cengkeh di punggung Gunung Gamalama, yang masuk wilayah Kelurahan Marikrubu, Ternate Tengah, Ternate.
Cengkeh memang mendominasi di antara vegetasi yang tumbuh subur di punggung Gamalama. Selain cengkeh, ada pula pala, kenari, dan kelapa. Namun, di antara pepohonan tersebut, cengkeh adalah tanaman yang lebih dulu banyak tumbuh di Gamalama.
Cengkeh Afo. Itulah nama varietas cengkeh asli Ternate yang dulu banyak tumbuh di Gamalama, jauh sebelum kedatangan Portugis di Ternate, awal abad ke-16. Pohon itu pula yang menjadi tujuan dari perjalanan di punggung gunung berapi tersebut.
Cengkeh Afo yang dituju adalah cengkeh Afo generasi kedua yang dipercaya oleh petani setempat sudah berusia lebih dari 200 tahun. Ini menjadi cengkeh Afo tertua yang kini masih ada dan hidup setelah cengkeh Afo generasi pertama yang berusia sekitar 400 tahun sudah mati sekitar tahun 2007.
Setelah hampir satu jam berjalan dari pusat Kelurahan Marikrubu, pohon tua itu bisa dijumpai di wilayah yang masuk Kampung Hange. Tinggi pohon sekitar 10 meter, melebihi rata-rata tinggi pepohonan di sekitarnya. Lingkar batang pohon itu hampir 4 meter yang hanya bisa dipeluk tiga orang dewasa.
Terlepas dari usianya yang sudah tua, pohon itu masih terlihat subur. Ranting-ranting pohon masih ditumbuhi dedaunan, dan di antaranya masih muncul bakal bunga cengkeh.
[kompas-image-360 src=”https://d33qo677evbora.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/138/2017/08/Cengkeh-akeguraici.jpg” caption=”Cengkeh tua di Air Kuning, Ternate.” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]
Selain cengkeh Afo yang dipercaya petani sebagai cengkeh Afo generasi kedua, ada pula cengkeh Afo generasi kedua lainnya yang sudah lama menjadi obyek wisata dan penelitian.
Lokasinya berada di Kampung Air Tege-Tege, Marikrubu, dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 30 menit dari Jalan Cengkeh Afo. Waktu tempuhnya lebih singkat karena memang lokasi cengkeh tak setinggi dengan posisi cengkeh Afo di Hange.
Jika di Hange cengkeh berada di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl), cengkeh di Air Tege-Tege berada di ketinggian sekitar 600 mdpl.
Meski jarak tempuh lebih dekat, medan jalan, hawa segar yang menemani perjalanan, dan lanskap alam yang bisa dilihat tak kalah dengan perjalanan ke cengkeh Afo di Hange.
Cengkeh Afo tua yang dulu melayarkan kapal-kapal asing, dari Eropa, Arab, dan Tiongkok, terutama akibat nilai ekonomisnya yang tinggi, kini lebih banyak memikat wisatawan. Nilai historis dari cengkeh Afo menjadi daya pikat.
Tak hanya di Ternate, pohon-pohon cengkeh berusia tua juga bisa dijumpai di Pulau Makian dan Pulau Halmahera, di Maluku Utara, sekalipun usianya tidak setua cengkeh di Ternate.
Berburu pohon-pohon tua ini menghadirkan sensasi tersendiri. Ini karena lokasinya yang berada di tengah alam yang masih asri, dengan hawanya yang sejuk karena berada di lereng bukit dan gunung. Untuk menjangkaunya, selain jalan terjal dan terus mendaki, sesekali parang harus digunakan untuk menebas tanaman liar yang merintangi perjalanan.
Di Halmahera Barat, Bupati Danny Missy mencoba mengeksploitasi sisi historis cengkeh dengan menawarkannya kepada wisatawan sebagai bagian dari perjalanan rempah.
Untuk ini, dia sengaja memprioritaskan pembangunan jalan menuju areal perkebunan cengkeh, dan juga pala, milik petani. Dia bahkan merencanakan pembangunan tempat istirahat di antara kebun-kebun rempah itu, dengan pemandangan langsung ke laut.
Perjalanan rempah dilengkapi dengan menyusuri hutan bakau di Gamtala yang masih asri dengan perahu nelayan selama sekitar 15 menit. Perjalanan itu berakhir di pantai Marimbati yang selama ini dikenal sebagai tempat peristirahatan Sultan Jailolo.
Di pantai dengan pasir hitam yang halus itu, ombak laut teduh mengempas pantai. Dari pantai itu pula keindahan matahari saat terbenam bisa sempurna terlihat.
Jika Halmahera Barat bisa membuat paket wisata yang memikat wisatawan, seharusnya daerah lain di Maluku Utara pun bisa melakukan hal itu. Apalagi, keindahan alam tak berdiri sendiri. Ada unsur historis di balik keindahan, yang bisa semakin mengundang ketertarikan wisatawan untuk datang. (ANTONIUS PONCO ANGGORO/MUKHAMAD KURNIAWAN)