Ketika rempah tak lagi memikat, pamor wilayah penghasil ikut tenggelam bersamanya, tak terkecuali Maluku Utara yang menjadi sentra cengkeh dan pala. Lewat festival budaya dan pariwisata, rempah diselipkan sebagai ”komoditas” pemikat, alternatif baru yang diharapkan dapat menggairahkan ekonomi sekaligus menghidupi warga.
Hampir satu jam lamanya perjalanan laut dari Ternate, Maluku Utara, perahu tiba di Jailolo, ibu kota Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, awal Mei lalu.
Jailolo tak tampak seperti biasanya. Lapangan Sasadu di samping pelabuhan seperti sedang bersiap menggelar pesta. Tepi lapangan dipenuhi stan pameran. Panggung di atas laut di sebelah timur lapangan telah dipercantik dekorasi bernuansa tradisional, dilengkapi pengeras suara dan lampu sorot.
Saat malam menjemput, gelaran pesta mulai tampak. Dari panggung, hiburan silih berganti tampil dengan didominasi tari-tarian tradisional Maluku Utara. Dari lapangan, pedagang ramai menjajakan dagangannya, mengubah lapangan bak pasar malam.
[kompas-image-360 src=”https://d33qo677evbora.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/138/2017/07/Jailolo-pantai.jpg” caption=”Pantai Jailolo, Halmahera Barat.” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]
Pesta pun terus berlanjut hingga hampir dua pekan lamanya. Pesta bertambah semarak dengan tampilnya 3.798 penari menarikan lalayon, salah satu tarian asal Maluku Utara. Pentas tarian kolosal ini berhasil dicatatkan di Museum Rekor-Dunia Indonesia.
Tak hanya itu, pertunjukan seni yang menggabungkan ragam adat dan seni tradisional di Halmahera Barat bertajuk ”Sasadu on the Sea” ikut menambah kemeriahan. Sasadu sengaja diambil sebagai judul karena merujuk pada nama rumah adat suku Sahu di Halmahera Barat.
Jadilah, lapangan Sasadu yang biasanya sepi, dan Jailolo yang biasanya juga sepi, berubah menjadi ramai selama pesta berlangsung, sejak 4 Mei 2017 hingga 14 Mei 2017.
Pesta itu merupakan wujud konkret dari dua festival wisata sekaligus yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halmahera Barat. Festival Kepulauan Rempah (FKR) menjadi pembuka pesta, dilanjutkan dengan Festival Teluk Jailolo (FTJ).
Gelaran festival ini bukan yang pertama kali. Sejak 2009, festival tersebut sudah rutin digelar Pemkab Halmahera Barat ketika bulan Mei tiba. Namun, pada awalnya, festival yang digelar hanya FTJ.
Di bawah kepemimpinan Bupati Halmahera Barat (2006-2016) Namto Hui Roba, pemerintahan saat itu yakin Halmahera Barat bak harta karun terpendam. Halmahera Barat memiliki pesona alam yang indah, di darat dan di bawah laut, ditambah budayanya yang beragam, tetapi banyak orang belum mengetahuinya. Jika harta ini digali dan diangkat, pemerintah yakin bisa memikat orang datang berkunjung ke Halmahera Barat.
Apalagi kekayaan yang terpendam itu disokong oleh kekuatan histori Halmahera Barat sebagai bagian dari Maluku Utara, yang sebelum abad ke-19 pernah menjadi incaran bangsa-bangsa asing karena hasil rempahnya, khususnya cengkeh.
Melalui FTJ, harta terpendam itu coba diangkat. Wisatawan diundang untuk menikmati panorama alam Halmahera Barat, keragaman budaya setempat ditampilkan, mulai dari seni tradisional hingga budaya kuliner. Penyelam dari sejumlah daerah di luar Maluku Utara diundang untuk melihat sendiri kekayaan alam bawah laut Teluk Jailolo.
Sejumlah artis Ibu Kota pun diundang untuk menikmati harta terpendam itu. Mereka antara lain Nadine Chandrawinata dan Ariel, vokalis grup band NOAH. Kehadiran artis-artis ini tidak semata menghibur masyarakat Halmahera Barat, tetapi diharapkan pula bisa lebih meyakinkan orang untuk berkunjung ke Halmahera Barat.
Halmahera Barat pun mulai dikenal. Terlebih setelah FTJ meraih peringkat ketiga Anugerah Pesona Indonesia Tahun 2016 dari Kementerian Pariwisata pada kategori festival budaya terpopuler.
Setelah Namto tak lagi menjabat bupati, penerusnya, Danny Missy, memiliki visi yang sama. Bahkan tak sebatas meneruskan gelaran FTJ setiap tahun, dia menginisiasi digelarnya festival lain, yaitu FKR, tahun ini. ”FKR untuk melengkapi FTJ,” ujar Danny.
Wisata rempah
Jika titik berat dari FTJ lebih banyak mengangkat keindahan bawah laut Teluk Jailolo, FKR difokuskan untuk mengangkat pesona rempah-rempah yang sebelum abad ke-19 membuat pulau-pulau di Maluku Utara tersohor hingga melayarkan kapal bangsa-bangsa asing untuk menemukannya, bahkan menguasainya.
Maka, tidak heran saat gelaran FKR, digelar spice trip atau perjalanan wisata rempah-rempah, mengunjungi kebun pala di Desa Taboso, Jailolo, dan cengkeh di Idamdehe, Jailolo. Kebun-kebun pala dan cengkeh yang diwariskan dari generasi ke generasi, tempat dahulu kala bangsa asing meraup banyak pala dan cengkeh.
Kemudian, sebagai pemikat tambahan, digelar tari legu salai di kebun pala di Taboso. Sebuah tradisi suku asli Halmahera Barat, yaitu suku Sahu, yang biasa ditampilkan untuk menyambut tamu khusus Kesultanan Jailolo atau saat merayakan syukuran panen raya padi.
”Mimpi kami ke depan spice trip ini bisa menjadi paket wisata. Kemudian, dari gelaran FKR secara keseluruhan, kami bermimpi rempah-rempah bisa kembali memikat orang untuk datang ke Jailolo seperti terjadi sebelum abad ke-19,” kata Danny.
Selain Jailolo dengan dua festivalnya, sejumlah daerah lain di Maluku Utara yang dulu menjadi incaran bangsa-bangsa asing karena hasil rempah-rempahnya, khususnya cengkeh, juga ramai-ramai menggelar festival wisata. Tujuannya lebih kurang sama, ingin menggapai kembali ketenarannya di masa lalu.
Di Ternate, Kesultanan Ternate bekerja sama dengan pemerintah setempat menggelar Festival Legu Gam. Festival digelar pertama kali tahun 2003, kemudian rutin diselenggarakan setiap bulan April, setiap tahun.
Di Tidore, pemerintah setempat bersama Kesultanan Tidore juga menggelar rutin festival bernama Festival Tidore sejak tahun 2008. Festival digelar bersamaan dengan peringatan hari jadi Kota Tidore Kepulauan, 12 April.
[kompas-image-360 src=”https://d33qo677evbora.cloudfront.net/wp-content/uploads/sites/138/2017/08/Kedaton-tidore.jpg” caption=”Kedaton Tidore.” credit=”KOMPAS/Novan Nugrahadi” /]
Penghasilan tambahan
Geliat festival di Maluku Utara ini setidaknya berkontribusi pada kunjungan wisatawan yang terus meningkat. Data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku Utara menunjukkan, jika tahun 2012 jumlah wisatawan hanya 64.464 orang, tahun 2014 meningkat menjadi 292.761 orang.
Namun, tak sebatas data, masyarakat secara nyata juga memperoleh untung dari gelaran festival itu. Di Jailolo, misalnya, perekonomian masyarakat selalu menggeliat setiap kali festival digelar.
Tukang ojek, pemilik rumah makan, hingga masyarakat yang menyediakan rumahnya untuk tempat menginap wisatawan meraup penghasilan tambahan setiap kali festival.
Fauziah Madjid (43), pemilik salah satu homestay, menceritakan, di tengah keterbatasan penginapan yang tersedia di Jailolo saat FTJ pertama kali digelar, pemerintah mengajak masyarakat untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat menginap bagi wisatawan. Masyarakat pun menyambut baik karena dari situ mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan.
Ada 53 kamar di 44 rumah yang disiapkan. Pada saat festival berlangsung, seluruh kamar terpesan oleh wisatawan. Tarif sewa kamar disamaratakan. Rp 100.000 untuk kamar yang hanya dilengkapi kipas angin dan Rp 150.000 untuk kamar dengan penyejuk ruangan (AC). Tidak ada yang mematok harga lebih mahal sekalipun permintaan kamar tinggi saat festival. ”Kami sadar, kalau terlalu mahal, nanti tamu tidak mau datang lagi,” ujar Fauziah.
Tradisi ini pun terus berlanjut setiap kali festival digelar. Bahkan, sebagian warga serius menyulap rumahnya supaya wisatawan menjadi nyaman. Rumah dipugar, begitu pula kamar-kamar yang disiapkan. Warga pun tak segan melengkapi kamar dengan AC.
Hal itu juga dilakukan Fauziah. Ia yang semula hanya menyiapkan tiga kamar mulai membangun tiga kamar lagi. Tak hanya itu, Fauziah menambah penghasilan dengan menjual makanan khas Halmahera Barat.
Dari situ, tidak sedikit warga yang serius menjadikan rumahnya menjadi penginapan. Di luar festival, rumah-rumah mereka tetap terbuka untuk wisatawan dari luar Jailolo.
”Setelah FTJ rutin digelar setiap tahun dan Jailolo semakin dikenal, ada saja wisatawan yang datang berkunjung hampir setiap minggu. Kalau bukan wisatawan, biasanya kamar homestay diisi tamu-tamu pemerintah. Mereka lebih nyaman di homestay daripada menginap di hotel atau penginapan,” tutur Fauziah. (ANTONIUS PONCO ANGGORO/MUKHAMAD KURNIAWAN)