Lada, pala, cengkeh, kayu manis, dan vanili adalah komoditas utama rempah Indonesia. Setiap tahun ratusan juta dollar Amerika Serikat diperoleh dari ekspor lima jenis rempah ini. Namun, pengembangannya belum optimal, tecermin dari sejumlah masalah mendasar yang masih terjadi di lapangan.
Sepanjang tahun 2015, nilai ekspor lada, pala, cengkeh, kayu manis, dan vanili mencapai 824,37 juta dollar AS. Sementara Januari-November tahun lalu, nilainya 653,3 juta dollar AS, turun dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang mencapai 770,42 juga dollar AS.
Penurunan diduga terkait dengan kondisi cuaca yang memengaruhi hasil panen petani. Namun, permintaan terhadap produk rempah diyakini terus tumbuh. Sejumlah asosiasi dan lembaga mencatat kenaikan permintaan beberapa dekade terakhir seiring perluasan masakan dan fenomena budaya makan di seluruh dunia.
Fenomena itu terlihat pada tren konsumsi lada. Berdasarkan data International Pepper Community (IPC), rata-rata konsumsi lada per kapita terus naik selama kurun 1975-1995, antara lain di negara-negara utama konsumen lada seperti Denmark, Jerman, Belgia, Perancis, dan AS. Di Denmark, konsumsi per kapita bahkan naik signifikan, yakni dari 102 gram tahun 1975 menjadi 128 gram tahun 1980 dan 194 gram tahun 1990-1995.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren peningkatan. Konsumsi lada warga Indonesia selama 2000-2014 rata-rata naik 1,29 persen per tahun. Lonjakan signifikan terjadi pada tahun 2006-2007, yakni dari 125 gram per kapita menjadi 156 gram per kapita.
Sementara konsumsi pala naik rata-rata 9,87 persen per tahun selama kurun 2002-2015. Konsumsi pala 1-3 gram per kapita per tahun. Secara nasional hanya 500-600 ton per tahun atau hanya 2 persen dari produksi yang lebih dari 30.000 ton setahun.
Pengembangan sejumlah komoditas rempah dinilai menjanjikan karena tren permintaan pasar terus tumbuh. Komoditas jahe, vanili, kayu manis, dan lada berdasarkan data Kementerian Perdagangan bahkan berada di kuadran star dalam peta produk ekspor Indonesia. Kuadran star berarti tren impor dunia dan ekspor Indonesia ke dunia sama-sama positif.
Berjuang sendiri
Perjalanan tim Ekspedisi Jalur Rempah harian Kompas di sentra-sentra produksi, pada 7 Maret-6 Juni 2017, menemukan problem yang relatif seragam. Tim antara lain menemui petani dan mengunjungi perkebunan lada skala rakyat di Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan; Bangka Barat dan Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung; dan Lampung Timur, Lampung; perkebunan pala di Kepulauan Banda, Maluku; di Ternate, Makian, dan Jailolo, Maluku Utara; serta Pulau Siau, Sulawesi Utara.
Di sentra penghasil lada putih di Kepulauan Bangka Belitung, sejumlah petani merasa berjuang sendiri di kebun, menghadapi serangan hama penyakit, ketidakpastian cuaca, serta keterbatasan sarana setelah panen. Pada tahun 2015, misalnya, panen kurang optimal karena tanaman terpapar kemarau lebih dari tujuh bulan. Padahal, tanaman idealnya hanya butuh tiga bulan penyinaran. Ketiadaan saluran air yang mengalir memaksa sebagian petani merendam lada di kolam atau empang yang berisiko kotor.
Petani lada di Kepulauan Bangka Belitung semestinya bergembira karena produknya telah mengantongi sertifikat indikasi geografis (SIG) dan dikenal di pasar rempah dunia dengan sebutan Muntok White Pepper. Harga jualnya lebih mahal. Namun, dukungan terhadap petani serta upaya menjaga mutu dan jumlah produksi dinilai kurang.
”Dukungan pupuk, bibit, dan sarana produksi sangat kurang. Di kebun, petani berjuang sendiri,” kata Gunawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Lada Indonesia, sekaligus petani lada di Bangka.
Sektor hulu atau budidaya memang relatif seadanya. Pemakaian bibit unggul, pemupukan, perawatan tanaman, dan pengendalian hama penyakit menjadi faktor utama keberhasilan produksi lada. Namun, tak sedikit petani kebingungan ketika harus mengidentifikasi jenis hama atau penyakit atau mengatasinya. Pada beberapa kasus, hama penyakit tak sembuh karena salah identifikasi dan ”resep obat”.
Petani lada di Kundi, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, malah harus mengatasi problem di luar teknis budidaya. Pada pertengahan Maret 2017, mereka resah karena sumber penghidupannya terancam perluasan areal perkebunan sawit oleh perusahaan perkebunan swasta besar.
Sementara sejumlah petani pala di Pulau Makian, Kabupaten Halmahera Selatan, kesulitan mengonsultasikan problem yang mereka hadapi di lapangan. Mereka menyayangkan kunjungan penyuluh yang jarang, balai penyuluhan yang kerap kosong, dan kesulitan lain tentang bagaimana mengolah hasil panen untuk meningkatkan nilai jualnya.
Petani pala di Pulau Siau, Sulawesi Utara, ”memboikot” pupuk bantuan pemerintah karena dianggap tidak sejalan dengan misi petani meningkatkan mutu pala melalui cara organik. Sosialisasi dinilai kurang, sementara informasi tentang kandungan dan manfaat pupuk tidak diberikan kepada petani calon pengguna. Akhirnya, karung-karung pupuk ditumpuk di kebun atau dijadikan tanggul.
Peneliti sosial ekonomi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Rini Ekwasita, menyatakan, sebagai komoditas perdagangan, kebutuhan pemakaian rempah relatif sedikit sehingga kualitas menjadi unsur utama. Namun, sebagian petani memosisikan rempah sebagai tanaman tabungan, sumber penghasilan sampingan. Karakter panen yang umumnya musiman dan tak kontinu membuat petani cenderung mencari sumber penghasilan lain yang bisa diuangkan dengan cepat.
Tak sedikit pula petani yang merasa cukup dengan hasil yang mereka peroleh. Mereka merasa tidak perlu memupuk, merawat tanaman, atau menyemprotkan obat untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi. Namun, ada faktor lain yang tidak memotivasi petani meningkatkan produksi, yakni harga jual yang sama antara rempah bermutu baik dan buruk di tingkat petani.
Hilir
Penanganan panen juga belum optimal. Petani pala di sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Maluku Utara serta di Sulawesi Utara menjemur biji pala dan fuli di atas terpal yang digelar di atas tanah. Kondisi ini rentan memicu tumbuhnya jamur. Namun, petani umumnya tak punya pilihan akibat keterbatasan modal dan lahan.
Padahal, aflatoksin atau racun yang dihasilkan oleh jamur menjadi salah satu komplain paling umum pembeli di luar negeri. Dalam beberapa kasus, pala asal Indonesia ditolak masuk setelah sampai di negara tujuan sebab otoritas keamanan pangan menemukan adanya aflatoksin.
Perdagangan pala juga masih sulit lepas dari pencampuran. Pedagang kadang mencampur beragam mutu dan jenis pala untuk mengejar volume sekaligus menaikkan harga jual. Tak jarang pala dari daerah lain diklaim sebagai pala Siau yang terkenal bermutu baik demi mendongkrak harga. Selisih harga pala Siau dan pala dari daerah lain menurut sejumlah pedagang bisa mencapai Rp 3.000 hingga Rp 6.000 per kilogram.
Situasi serupa terjadi pada komoditas lada. Lada yang telah memiliki merek dagang di pasar internasional, yakni Muntok White Pepper dan Lampung Black Pepper, menjadi sasaran pemalsuan atau pencampuran karena harganya lebih tinggi. Sayangnya, seperti pada pala, petani yang berupaya menaikkan mutu melalui penyortiran, pengeringan, dan penyimpanan yang lebih baik tidak mendapatkan insentif harga yang signifikan.
Kondisi itu dinilai menyulitkan pedagang atau eksportir. Mutu barang dari petani, pengepul kecil, bahkan pedagang besar sering kali tak seragam. Oleh karena itu, eksportir perlu memilah lagi untuk memastikan produk yang diekspor memenuhi persyaratan pembeli.
Kalangan eksportir, khususnya pala, juga menghadapi kendala pada proses mendapatkan sertifikat keamanan pangan di dalam negeri. Keterbatasan laboratorium pengujian memaksa eksportir mengantre, sementara proses pengujian juga relatif lama, yakni hingga 20 hari.
Rendah
Kondisi agroklimat, keragaman plasma nutfah, serta potensi lahan dan petani adalah sebagian keunggulan yang dimiliki Indonesia, salah satu negara produsen rempah dunia. Kepulauan Banda dan Maluku bahkan menjadi tempat asal cengkeh dan pala. Namun, produksi rempah Indonesia umumnya belum optimal, tecermin dari produktivitas yang rendah.
Produktivitas pala Indonesia, misalnya, hanya 1.662 kilogram per hektar menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang dikutip Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian dalam Outlook Pala 2016. Angka itu jauh dari produktivitas pala di Malaysia yang mencapai 56.651 kilogram per hektar, Dominika 16.343 kilogram per hektar, Madagaskar 8.761 kilogram per hektar, Togo 8.342 kilogram per hektar, atau Malawi 7.428 kilogram per hektar.
Berdasarkan data IPC, produktivitas lada Indonesia hanya 663,79 kilogram per hektar pada tahun 2015, jauh lebih rendah dari produktivitas lada Vietnam yang mencapai 2.280 kilogram per hektar, Brasil 2.075 kilogram per hektar, Malaysia 1.380 kilogram per hektar, atau Sri Lanka 838 kilogram per hektar.
Data FAO tahun 2014 menunjukkan, Indonesia memiliki 162.700 hektar kebun lada, tetapi produksinya hanya 87.400 ton. Sementara Vietnam yang hanya punya 58.527 hektar atau sepertiga luas lada Indonesia mampu memproduksi 151.761 ton atau dua kali lipat produksi Indonesia.
[kompas-video src=’https://play-kompasvideo.streaming.mediaservices.windows.net/1eb56527-10af-4ffa-b63f-92fc042dbda2/kvms_23699_20170808_jalur_rempah_wrap.ism/manifest(format=m3u8-aapl-v3)’ caption=’-‘ credit=’danial.ak’ cover_src=’https://azk-cdn-audio-kompas.azureedge.net/kvms//IMAGES/2017/08/23699_p.png?v=2′ /]
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produktivitas lada Indonesia hanya tumbuh rata-rata 0,03 persen per tahun selama dua dekade hingga tahun 1990. Lalu meningkat 2,5 persen per tahun pada kurun 2010-2014 menjadi 824 kilogram per hektar. Namun, angka itu masih jauh dari potensi produksi varietas-varietas lada unggul, yakni 1.970-4.480 kilogram per hektar.
Sejumlah peneliti menyebut, rendahnya produktivitas lada Indonesia antara lain dipicu oleh serangan busuk pangkal batang (BPB), penyakit yang paling ditakuti petani karena dampaknya. Kehilangan hasil akibat BPB diperkirakan mencapai 20-30 persen. (MUKHAMAD KURNIAWAN/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)